Kekayaan alam di Indonesia tidak perlu lagi dipertanyakan. Namun, yang sangat disayangkan adalah masih kurangnya pengembangan untuk potensi yang ada di Tanah Air. Salah satu komoditas yang dianggap masih belum dioptimalkan potensinya adalah vanili.
Berdasarkan data dari Food Agroculture Organization (FAO) pada tahun 2019, Indonesia menempati posisi kedua sebagai produsen vanili terbesar di dunia setelah Madagaskar yang mencatat rata-rata produksi 2.500 sampai 3.000 ton vanili tiap tahunnya. Indonesia bahkan tercatat memproduksi 2.330 ton vanili pada tahun yang sama.
Meski tercatat sebagai produsen vanili yang besar, Indonesia nyatanya masih melakukan impor untuk sejumlah produk berbahan dasar vanili. Harga produk impor tersebut pun cukup tinggi jika dibandingkan dengan produk lokal. Hal ini sangat disayangkan.
Melihat potensi yang masih bisa dieksplorasi dari vanili, Lidya Angelina Rinaldi kemudian membangun La Dame in Vanilla.
“Kehadiran La Dame in Vanilla sendiri berangkat dari passion saya di baking. Untuk kebutuhan membuat kue, sangat sulit menemukan vanili yang alami. Karena, yang banyak beredar di pasaran adalah produk vanili artificial dan impor,” ujar Lidya.
Saat ia memulai bisnisnya, Lidya melihat bahwa kondisi vanili Indonesia pada tahun 2015 sedang berada di titik terendah. Pasalnya, para petani enggan menanam vanili. Namun, ia tidak menyerah di sana dan terus berusaha meyakinkan petani untuk menanam vanili.
Tidak hanya menawarkan keuntungan bisnis saja untuk para petani tadi. Lidya melakukan pendekatan yang berbeda yaitu menciptakan ikatan dengan petani. Karena, ia memahami bahwa selama ini, kebanyakan dari petani hanya berpikir mereka menanam sesuatu untuk mendapatkan uang. Hal tersebut seperti terpatri di pikiran mereka yang biasa didatangi tengkulak dan ekspatriat yang menawarkan kerja sama.
Sumber: La Dame in Vanilla Instagram
“Kami sangat menyadari bahwa petani adalah backbone kami. Berbeda dengan pendekatan yang mungkin dilakukan pebisnis lain, kami tidak hanya memberikan mereka bibit untuk ditanam. Tapi, kami mengajak mereka untuk bergabung di dalam circle kami dan kami juga mencoba memahami kebutuhan mereka,” tutur Lidya.
Salah satu cara untuk membangun kedekatan tadi adalah dengan memperbaiki infrastruktur seperti jalan. Karena, tidak sedikit tempat petani yang susah untuk disambangi bahkan memerlukan waktu perjalanan selama tiga jam. Pengadaan infrastruktur ini tidak hanya membantu petani untuk mobilitas sehari-hari mereka namun juga meningkatkan efisiensi bisnis bagi La Dame in Vanilla sendiri.
Lidya melihat potensi masih terus ada dan bisa dioptimalkan. Dari sisi petani sendiri, masih dibutuhkan literasi mengenai vanili. Karena, sepanjang perjalanan La Dame in Vanilla, Lidya banyak menemukan petani yang kurang konsisten.
“Saya melihat kebiasaan dari para petani Indonesia, yaitu kurang konsisten. Ketika suatu komoditas sedang menurun nilai jualnya, mereka akan beralih untuk menanam komoditas lainnya. Ini yang membuat suatu komoditas menjadi oversupply. Dan, hal itu justru membuat nilai dari komoditas tersebut rendah,” ujarnya.
Selain konsistensi yang perlu dijaga, hal lain yang perlu diperhatikan adalah quality control. Lidya menuturkan bahwa semua kembali lagi kepada bagaimana pelaku usaha bisa membangun hubungan baik dan kepercayaan dengan petani. Agar edukasi yang disampaikan bisa benar-benar mereka aplikasikan dan terus dilanjutkan.
Kini, kita hidup di masa tingginya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Ini pun dilihat Lidya sebagai momentum untuk memperkenalkan brand dan produk-produknya.
“Kami ingin bangkit dari pandemi dan membuat vanili Indonesia semakin mendunia melalui La Dame in Vanilla. Jika sebelumnya orang-orang mengenali Madagaskar, semoga ke depannya kami bisa membawa nama vanili Indonesia ke mata dunia. Kami juga ingin memperkenalkan opsi yang lebih baik kepada para pelaku usaha untuk menggunakan real vanilla,” tutup Lidya.