Hampir semua industri pada periode awal tahun ini mengalami penurunan dibanding periode yang sama di tahun lalu. Salah satu yang ikut terimbas pelemahan ini adalah industri makanan dan minuman. Hal ini diakui oleh Rachmat Hidayat dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI).
“Bila dibandingkan dengan kuartal pertama tahun lalu, kuartal pertama tahun ini terbilang menurun. Kalau kuartal pertama tahun lalu sebesar 9%, tahun ini hanya di angka 5%,” kata Rachmat Hidayat, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Umum GAPMMI.
Penurunan ini, menurut Rachmat, akibat kondisi perekonomian makro mengingat tren yang sama juga terjadi di industri lainnya. Industri ini merupakan industri yang mengolah fast moving consumer goods. Bila terjadi penurunan angka tersebut, sambung Rachmat, hal itu disebabkan oleh penurunan tingkat konsumsi. Semua ini sebagai dampak perlambatan ekonomi secara global.
Soal regulasi, Rachmat mengakui ada pengaruhnya pada industri ini meski tidak cukup kentara atau frontal. Rachmat menyebut beberapa regulasi, seperti regulasi yang menyangkut produk impor, produk kemasan, regulasi soal sumber daya air, maupun terkait dengan produk sehat. “Ada pengaruhnya, tetapi pengaruh regulasi ini tidak frontal. Hanya saja, regulasi ini akan memengaruhi strategi dari para pemain di industri ini,” katanya.
Investasi Tetap Jalan
Meski kondisi ekonomi di industri mengalami perlambatan, yang menarik di industri makanan dan minuman adalah investasi yang tetap jalan dan berkembang. Rachmat melihat investasi di makanan dan minuman tetap tumbuh dengan aneka investasi baru. Dan, investasi baru ini masih didominasi oleh investor asing sebesar 60% dari total investasi. Sisanya dikuasai oleh investor lokal.
“Secara historis, komposisi investasi asing dan domestik memang seperti ini. Tren ini seharusnya dilihat oleh pemerintah untuk menyikapi perlambatan ini. Hal ini perlu didukung dengan aneka kebijakan untuk iklim investasi yang makin sehat dan kondusif. Toh, investasi ini juga berdampak pada peningkatan lapangan kerja dan tentunya tingkat konsumsi masyarakat,” katanya.
Selain itu, dari sisi produk, Rachmat melihat produk-produk minuman lebih agresif berkembang ketimbang makanan. Industri minuman boleh dibilang tumbuh lebih besar ketimbang industri makanan. Hal ini ditandai dengan bermunculannya produk-produk dan varian-varian baru dari minuman tersebut. Ini bisa dengan mudah dicek di pasar-pasar tradisional maupun modern.
Investor-investor asing seperti Jepang dan Thailand gencar berinvestasi pada minuman ini. Pabrik-pabrik minuman juga dibangun sebagai tanda menariknya industri minuman ini.
Lebaran Jadi Penyelamat?
Di tengah penurunan pada kuartal pertama yang cukup signifikan, Rachmat masih optimistis kondisi ini bisa diselamatkan dengan memanfaatkan momentum-momentum yang akan datang. Liburan dan Lebaran, katanya, diharapkan bisa menjadi dewa penyelamat dari kondisi saat ini. Mengingat pada masa ini, konsumsi makanan dan minuman dipastikan akan naik dengan signifikan.
“Musim Puasa dan Lebaran kami harapkan bisa menjadi booster bagi industri ini. Pemerintan seharusnya bisa menjaga momentum ini sebaik-baiknya. Apabila beberapa bahan makanan untuk Indonesia masih tergantung pada impor. Termasuk kebutuhan bahan tambahan pangan,” kata Rachmat.
Untuk semester mendatang, Rachmat menyarankan agar turut menjaga kestabilan industri ini. Salah satu caranya dengan menjaga ketersediaan produk di pasar. Ketersediaan produk ini sangat memengaruhi citra industri ini. Selain itu, para pemain di sini juga harus pintar-pintar mengelola sistem dan jaringan logistiknya. “Tak boleh dilupakan, para pemain juga harus menjaga efisiensi mengingat persaingan makin ketat di industri ini yang mana produk dan merek baru makin banyak. Apalagi consumer goods ini merupakan industri yang relatif sensitif pada harga,” katanya.
Tahun ini, Indonesia juga akan memasuki era persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Rachmat menyatakan hal utama yang tidak boleh lalai dilakukan menghadai era tersebut adalah keamanan pangan. “Food safety ini sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan lagi. Ini yang bisa menjaga kepercayaan konsumen terhadap produk makanan dan minuman Indonesia. Kalau tidak bisa, konsumen bisa pindah ke produk negara lain,” katanya.
Rachmat juga berharap pemerintah bisa menjaga dan menumbuhkan industri makanan dan minuman Indonesia tetap memiliki daya saing agar tidak dimakan oleh pemain asing.
“Semua itu bertujuan mendukung kestabilan industri ini. Pada akhir tahun ini, kami berharap paling optimistis bisa mencapai pertumbuhan seperti tahun lalu sebesar 8%. Lebaran menjadi momentum yang sangat kami harapkan untuk mengejar target ini,” pungkas Rachmat.