Industri fesyen tidak dapat dipungkiri berkontribusi dalam permasalahan iklim yang ada saat ini. Tanpa memperbaikinya, maka krisis tidak akan mereda. Di sisi lain, persoalannya tak hanya ada di iklim saja tetapi juga pencemaran air bersih hingga eksploitasi perempuan. Pernahkah Anda membayangkan semua masalah tersebut hadir dari pembuatan pakaian?
Sukkha Citta, merek fesyen lokal yang fokus pada dampak sosial mengajak konsumen untuk menjadi lebih peka terhadap permasalahan tersebut. Sebab itu, mereka ingin mengenalkan asal-usul pakaian melalui pameran KAPAS yang hadir di Ashta District 8 selama sebulan penuh dan berakhir pada 15 Mei mendatang.
“Perjalanan kami menelusuri asal-usul dari pakaian mempertemukan kami dengan petani-petani kapas terakhir di Indonesia. Dan, melalui pameran ini, kami ingin berbagi kearifan lokal nenek moyang yang telah merawat Ibu Pertiwi lintas generasi,” tutur Founder Sukkha Citta Denica Riadini-Flesch.
Dari kebun ke karya. Itulah yang ingin dihadirkan Sukkha Citta pada pameran ini. Mereka juga ingin mengajak pelanggan untuk fokus pada solusi krisis iklim dan apa yang bisa dilakukan untuk berkontribusi.
Industri fesyen menyumbang lebih banyak jejak karbon (Green House Gas emission/GHG) Untuk memastikan kita tidak mencapai kenaikan suhu 1,5C di tahun 2030, penting bagi kita mengurangi separuh dari emisi ini.
Tetapi, dengan perkembangan yang begitu cepat, emisi yang dihasilkan justru diprediksi akan meningkat sebanyak 50% dalam delapan tahun ke depan. Sebab itu, ini dirasa menjadi saat tepat untuk mencari solusi yang tidak hanya mengurangi dampak negatif namun juga berkontribusi untuk merestorasi dan menyembuhkan alam. Dan, ini bermula dari bagaimana pakaian kita dibuat.
Petani kecil Indonesia telah mempraktikkan pertanian regeneratif atau Tumpang Sari selama beberapa generasi. Bersama dengan Sukkha Citta, saat ini mereka kembali menelusuri jejak nenek moyang mereka dengan agroforestry tradisional hingga rempah-rempah digunakan sebagai pestisida alami.