Liquid Vape, Anak Bungsu HPTL Simpan Potensi Pendapatan Cukai untuk Negara

marketeers article
Vape device vector set cigarette vaporizer vapor juice vape bottle flavor illustration battery coil. Trend new culture electronic nicotine liquid. Smoking atomizer device e-liquid.

Sejak pertengahan tahu lalu, rokok eletronik secara sah boleh beredar di negara ini. Menjadi angin segar bagi para pengguna vape dan terutama pengusaha ritel yang menjajakan produk-produk terkait rokok elektronik. Produk liquid vape yang menjadi inti dari rokok elektrik ini menjadi anak bungsu dalam kategori Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) dan dikenakan cukai.

“Pada dasarnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai sudah mengakomodir bila terjadi lahirnya produk-produk baru turunan dari tembakau atau HPTL. Dan, terbukti beberapa tahun belakangan ini muncul liquid vape,” kata Agus Wibowo Setiawan, Kepala Seksi Tarif Cukai & Harga Dasar II Dirjen Bea Cukai, Kementrian Keuagan RI, saat peluncuran NCIG, rokok elektrik POD bercukai pertama di Indonesia, pekan lalu.

Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan secara resmi memberikan izin perdana berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) kepada beberapa pengusaha pabrik liquid vape.  Hal itu dilakukan sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang berlaku mulai 1 Juli 2018.

Meski ditetapkan pada 1 Juli 2018, pemerintah melakukan relaksasi hingga Oktober 2018. Hal itu, untuk memberikan kesempatan pada para produsen liquid vape untuk mengajukan izin dan mendapatkan pita cukai.

Setelah mendapatkan izin peredaran, para pemain di industri ini segera melakukan bebenah menyesuaikan diri dengan aturan tersebut. Hasilnya, hingga akhir tahun 2018 industri ini telah menyumbang pajak cukai sebesar Rp 105,6 miliar. Kemudian, sepanjang Januari hingga Februari 2019 pemesanan pita cukai telah mencapai senilai Rp 188 miliar.  “Kami mengharapkan penerimaan cukai dari liquid vape tahun ini bisa mencapai Rp 2 triliun. Jadi, sebenarnya bukan target,” terang Agus.

Melihat perkembangan dari industri ini, sepertinya pencapaian pendapatan cukai seperti yang diharapkan tersebut bisa tercapai. Hingga akhir tahun 2018, menurut Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) pengguna rokok elektronik di sini sudah mencapai 1,2 juta orang. Jumlah ini terus bertambah, baik itu dari pengguna rokok konvensional yang berpindah atau yang mengonsumsi baik rokok konvensional dan vape.

“Sebagai anak terakhir dalam HPTL kami harus bisa menunjukkan bukti bahwa industri ini berkembang. Kami optimistis bisa mendukung harapan perolehan cukai dari pemerintah,” kata Aryo Andrianto, Ketua APVI.

Menurutnya, industri rokok elektrik memiliki potensi yang cerah di Indonesia. Mengingat, Indonesia memiliki jumlah perokok yang sangat besar. Jumlah perokok aktif di negara ini antara 60-70 juta orang. Di sisi lain, ada banyak perokok yang ingin berhenti merokok.

Menurut data World Health Organization (WHO), sekitar 30,4% perokok di negara ini mencoba berhenti merokok. Namun, di tahun 2018 dari sekian banyak orang yang ingin berhenti merokok, baru 9,5% yang berhasil. Lumayan meningkat dari tahun 2017 yang mana tingkat keberhasilan hanya di angka 6,5%.

“Menurut berbagai penelitian, penggunaan rokok elektrik 95% lebih rendah risiko dibandingkan rokok konvensional. Ini yang bisa mendorong orang bergeser ke rokok elektrik,” tambah Aryo.

Aryo menambahkan, dari sisi produsen dan pengusaha di industri rokok elektronik ini juga terus berkembang. Hingga saat ini, ada lebih dari 300 produsen alat dan aksesoris, 150 distributor dan importir produk terkait rokok elektrik, dan lebih dari 5.000 pengecer. “Menurut kabar, ada produsen besar rokok konvensional yang akan masuk ke pasar rokok elektrik  di Indonesia,” ungkapnya.

    Related

    award
    SPSAwArDS