Salah satu momen terpenting dalam kehidupan umat manusia adalah menikah. Saat ini memomentum pernikahan membawa isu tersendiri di kalangan milenial, yakni masalah finansial.
Menikah itu pada dasarnya murah dan menjadi mahal karena selera milenial yang semakin peduli dengan citra dan penampilan. Saat ini banyak yang mendambakan pernikahan dengan tema yang modern dan secara visual bagus.
Contoh, ada beberapa detail yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya di pesta pernikahan era lama, seperti tambahan photobooth dan layar LCD untuk penayangan pesta pernikahan yang kini banyak dapat dijumpai pada beberapa pesta pernikahan.
Selain itu, estimasi biaya untuk resepsi pernikahan pun terus meningkat, sebagai contoh resepsi pernikahan di hotel bintang lima di kawasan Jakarta tahun 2020, biayanya bisa mencapai lebih dari Rp 500 juta dan nilai ini belum termasuk jasa fotografer, photobooth, undangan, souvenir, hantaran, dan lainnya.
Mahal bukan? Namun ada beberapa hal yang sebenarnya bisa diantisipasi. Menurut Senior Manager Business Development Sequis Life, Yan Ardhianto Handoyo, sebelum menikah ada baiknya pasangan memahami tujuan pernikahan itu sendiri karena menikah dan membangun rumah tangga akan selalu berkaitan dengan biaya, seperti berapa dana yang dibutuhkan, dari mana sumber dananya, siapa yang akan membiayai, dan sejumlah pertanyaan lainnya mengenai biaya dan anggaran.
“Menikah adalah awal membangun rumah tangga, kehidupan pernikahan justru dimulai setelah pesta. Oleh sebab itu, biaya pernikahan sebaiknya tidak dibiayai dari utang, masih banyak tahapan kehidupan yang membutuhkan biaya,” sebut Yan.
Salah satu hal lainnya yang membuat biaya pernikahan kian membengkak adalah soal media sosial yang juga sangat lekat dengan kehidupan milenial. Pernikahan yang ditampilkan pada postingan di media sosial juga semakin berkembang sehingga para milenial tidak mau menikah sekadarnya dan dengan cara konservatif.
Survei The Lyst dalam Wedding Report 2019 mengatakan bahwa media sosial memiliki dampak yang semakin penting terhadap tren pernikahan di seluruh dunia. Sehingga, demi postingan media sosial yang menarik maka vendor media sosial dimasukan juga dalam bujet pernikahan.
“Fenomena ini bisa menimbulkan polemik bagi mereka yang belum siap secara finansial, beberapa diantaranya menunda pernikahan. Ada juga yang tetap memilih tetap melangsungkan pernikahan dengan berutang,” tambah Yan.
Baginya jika mau menyesuaikan kemampuan keuangan dan mengerti akan tujuan pernikahan, tidak perlu menunda hanya karena gengsi, pernikahan tetap dapat dilangsungkan dengan cara sederhana. Namun, jika pilihan jatuh pada berutang maka milenial dapat memanfaatkan fasilitas pinjaman tanpa bunga atau dengan bunga yang sangat rendah. Hal ini mengingat rasio total utang konsumtif adalah maksimal 15% dari penghasilan tetap. Namun, ia tetap menyarankan agar pernikahan dibiayai dengan anggaran yang dipersiapkan sebelumnya.