Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat jumlah cadangan minyak bumi Indonesia terus anjlok dalam satu dasawarsa terakhir. Tahun 2011, cadangan minyak Indonesia tercatat 7,73 miliar barel.
Sementara itu, pada tahun 2021 cadangan minyak bumi Indonesia tinggal 3,95 miliar barel, dengan jumlah cadangan terbukti sebesar 2,25 miliar barel, dan 1,7 miliar barel cadangan potensial. Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu daerah penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia turut mengalami penurunan jumlah cadangan migas.
BACA JUGA: Kejar Produksi Minyak 1 Juta Barel, Ini Strategi Menteri Arifin
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Timur mencatat jumlah produksi minyak bumi di wilayah tersebut terus menurun setiap tahun dari 2019 sebesar 21 juta barel hingga tahun 2021 sebesar 17 juta barel. Fransisca Indah Permatasari, mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan Universitas Pertamina menemukan solusi untuk meningkatkan produksi migas meski pada sumur yang sudah tua.
Penelitiannya diganjar penghargaan Best Oral Presentation pada kompetisi The 46th IPA Convention and Exhibition kategori Student Paper 2022.
BACA JUGA: Jokowi Pastikan Tak Ada Penghapusan Pelanggan Listrik Daya 450 VA
“Penelitian ini saya lakukan dengan mengambil data di Blok Mahakam. Saat ini kondisi di Blok Mahakam terdapat sumur-sumur migas yang usianya sudah cukup tua. Jadi mau tidak mau produksi minyak akan berada di reservoir yang kedalamannya semakin dangkal. Tantangan jika berproduksi di reservoir yang dangkal, khawatir yang akan didapatkan bukan migas, tetapi pasir,” kata Fransisca melalui keterangannya, Jumat (14/10/2022).
Fransisca menawarkan metode kontrol pasir untuk menahan agar pasir tidak ikut terambil selama proses eksploitasi. Cara kerjanya dengan menggunakan water-based resin. Metode resin ini berfungsi seperti lem yang dapat mengikat serta menahan pasir dan batuan di dasar sumur.
Inovasi resin berbasis air yang ditawarkan Fransisca sekaligus menjadi solusi untuk melakukan eksploitasi migas dengan biaya yang lebih terjangkau. Dalam paper-nya yang berjudul Evaluation of Tight Injectivity For Sand Consolidation Treatment: A Study Case in Mahakam disebutkan, setidaknya inovasi produksi dengan metode water-based resin dapat menekan biaya hingga 20% lebih rendah dibandingkan metode konvensional (solvent-based resin).
“Jika menggunakan metode solvent-based resin dibutuhkan 81,17 barel untuk produksinya. Sedangkan metode water-based resin 20% lebih rendah yaitu hanya 64,08 barel. Artinya biaya yang dibutuhkan juga akan lebih rendah,” ujarnya.
Fransisca menambahkan keuntungan penggunaan water-based resin lainnya adalah lebih aman untuk diinjeksikan ke dalam sumur. Sebab, menggunakan bahan kimia yang lebih sedikit, tingkat viskositas resin berbasis air menjadi lebih rendah.
“Hal ini dapat mengurangi tekanan yang dibutuhkan pada proses injeksi resin ke dalam sumur sehingga proses eksploitasi migas menjadi lebih aman,” tuturnya.
Editor: Ranto