Mampukah Starbucks Sukses di Negeri Sejuta Kopi Italia?

marketeers article
Doc: Starbucks Newsroom

Budaya kopi mungkin berasal dari negeri Pisa, Italia. Akan tetapi, butuh perusahaan Amerika untuk membuat kopi menjadi santapan global. Ya, tiga puluh tahun lamanya Starbucks menunggu waktu yang tepat untuk masuk ke surga para pecinta kopi itu.

Howard Schultz, CEO Starbucks -yang kabarnya bakal maju sebagai calon Presiden Amerika kelak- pernah mengatakan bahwa dirinya terinspirasi mengembangkan kedai kopi seperti saat ini paska kunjungan ke Milan pada tahun 1980an.

Tiga dekade berlalu, Schultz berhasil meyakinkan publik Italia dengan membuka gerai pertama Starbucks di kota mode itu. Kedai ini merupakan buah kerja sama dengan mitra lokal bernama Percassi, sebuah pengembang ritel prominen asal negeri Galileo itu.

Starbucks bukan satu-satunya perusahaan yang “mencuri” apa yang dimiliki Italia. Sejarah mencatat, seorang warga negara Italia sempat mengembangkan mesin espresso pertama di dunia. Hanya saja, perusahaan asal Swis, Nestlé yang membuatnya menjadi massal lewat mesin bernama Nespresso.

Lokasi pertama Starbucks di Milan berada di bekas markas besar Kantor Pos Milan, sebuah gedung cukup lapang yang dekat dengan pusat keramaian Gereja Katedral. Gerai seluas 25.000 m2 ini menjadi Starbucks “Reserve Roastery” pertama di Eropa, yaitu sebuah format gerai yang lebih besar dan lebih mengutamakan keabsahan kopi dibandingkan dengan gerai pada umumnya.

Di gerai tersebut, pelanggan dapat melihat biji kopi mereka dipanggang di gerai. Layaknya segelintir toko Starbucks Reserve Roastery lainnya, gerai ini juga menawarkan makanan dari toko terkenal Princi, toko roti asal Italia yang baru saja memperoleh investasi dari Starbucks. Kedai kopi yang telah berada di 75 negara itu juga akan menyajikan anggur, bir, dan minuman keras lainnya di setiap gerai yang akan dibuka di Italia.

Terlepas dari klaim Schultz yang yakin bahwa Starbucks bakal sukses di Italia, warga setempat akan menemukan konsep kopi yang sedikit berbeda dari yang mereka biasa ketemui. Orang Milan biasanya menyesap espresso kecil yang dibanderol seharga 1 euro (sekitar Rp 16.000). Mereka juga terbiasa berdiri di depan meja bar yang melekat langsung ke area di mana barista menyeduh kopi.

Nah, Starbucks menawarkan konsep kopi Amerika yang terkenal yakni frappucinno alias kopi blend yang dihiasi dengan whipped cream manis di atasnya. Gerai pun dilengkapi dengan steker, sehingga konsumen bisa mengisi baterai laptop atau piranti mereka sembari menyeruput kopi kesayangan.

Konsep ini, menurut Schultz, bakal diterima oleh lidah orang Italia. Apalagi, kota ini menjadi lebih global, khususnya paska World Expo dihelat di Milan pada tahun 2015 silam. Dalam lima tahun terakhir, jumlah wisatawan internasional yang bermalam di kota ini meningkat dua kali lipat dan telah melebihi torehan yang dikantongi Roma, ibu kota Italia.

Dibukanya toko perdana Apple di Milan turut mengindikasikan semakin terbukanya warga setempat terhadap produk “asing”. Pada tahun ini saja, pengembang Australia Westfield dikabarkan akan membangunan pusat perbelanjaan pertama sekaligus yang terbesar di Eropa.

Selain itu, pizza, makanan paling khas dari Italia juga tak luput dari pengaruh amerikanisasi. Pasalnya, jaringan kedai pizza terbesar kedua di dunia, Domino’s, telah membuka pintunya di Milan pada tahun 2015, dan kini jumlahnya pun kian bertambah.

Jika bukan oleh orang-orang Italia, Starbucks setidaknya dapat memperoleh atensi dari turis asing yang bertamu ke negeri itu, yang jumlahnya mencapai 43 juta jiwa per tahun.

Tak mau kalah

Ketika banyak perusahaan Barat menginvasi pasar Italia, negeri ini juga tak mau tinggal diam. Mereka juga ingin mempertajam eksistensinya di pasar global dengan melakukan serangkaian ekspansi bisnis.

Italia dikenal sebagai pengekspor biji kopi panggang ke berbagai belahan dunia di mana jumlahnya meningkat dua kali lipat dalam satu dekade terakhir. Jumlahnya setara dengan 3,2 juta karung seberat 60 kilogram. Hal ini membuat pangsa pasar biji kopi panggang Italia di kancah global meningkat dari 6,7% menjadi 8,9%.

Selain biji kopinya, Italia mulai “mengekspor” merek kopi mereka sendiri. Tahun lalu, Lavazza, perusahaan kopi terbesar di Italia membeli merek premium Carte Noire Douwe Egberts senilai 800 juta euro, menjadikannya sebagai pemimpin pasar kopi di Prancis.

Begitu pun dengan penawaran umum saham perdana (IPO) Massimo Zanetti sebesar 40%, yang bertujuan meningkatkan modal untuk keperluan ekspansi usaha. Zanetti memiliki berbagai merek dagang, termasuk Boncafé. Ia juga membeli saham di Club Coffee, sebuah perusahaan kopi asal Kanada.

Selain terus mengembangkan sisi business-to-business, Illycaffé juga memperluas pasar langsung ke konsumen akhir. Perusahaan ini telah membuka kedai kopi di kota-kota besar dunia, mulai dari Seoul hingga San Francisco. Mereka berencana untuk membuka lebih banyak lagi kedai kopi di kota-kota metropolis.

Jeffrey Young, konsultan Allegra World Coffee Portal kepada The Economist meragukan apabila semua langkah tersebut cukup bagi merek Italia untuk bersaing di pasar global yang kian kompetitif. Menurutnya, banyak perusahaan Italia telah merasa puas dengan predikatnya sebagai produk kopi yang lebih unggul. Di saat yang sama, banyak pula yang mengabaikan pentingnya branding dan aktivitas pemasaran suatu brand.

Industri kopi dewasa ini juga harus semakin mengedukasi pasar. Pengetahuan tentang kopi tidak semata mengenai biji kopi dan rasa yang dihasilkan. Kini, metode pembuatan kopi, proses penggilingan, serta kualitas air juga menjadi perhatian utama yang bisa menjadi selling point di mata konsumen. Seperti yang dilakukan Illycaffé dengan mempelopori penggunaan kaleng bertekanan tinggi, ketika kebanyakan merek masih menjual kopi dalam kantong kertas.

Baru-baru ini, telah ada aplikasi yang memungkinkan para pecinta kopi membeli campuran biji kopi ideal berdasarkan preferensi mereka. Itu artinya, inovasi dan pengembangan produk telah menjadi rute penting menuju pertumbuhan pasar kopi dunia. Siapa yang bisa menangkap itu semua? Haruskah dunia mesti menunggu Starbucks?

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related