Usaha berbasis sosial atau social enterprise mulai banyak bermunculan. Pada dasarnya, ini adalah sebuah bisnis yang didalamnya terdapat dua tujuan: for profit (mencari keuntungan) dan for purpose (melakukan kegiatan sosial). Namun, banyak pemain social enterprise yang masih bingung apa badan hukum yang tepat untuk organisasinya itu.
Ari Susanti, Senior Programme Manager British Council Indonesia mengatakan, dilema dalam menentukan badan hukum sebuah social enterprise terjadi karena organisasi sosial selalu dikaitkan dengan yayasan. Namun, pada praktiknya, yayasan biasanya usaha non-profit di mana seluruh kekayaan adalah milik yayasan, sehingga tidak ada keuntungan.
“Sedangkan, jika badan hukumnya CV atau PT, banyak orang akan sulit percaya terhadap bisnis sosial yang dilakukan,” ujar Ari dalam acara ARISE Ke-2 bertajuk Impactful Technology for Sustainable Future di Soesana Hall, Jakarta beberapa waktu lalu.
Nancy Margried, Pendiri Batik Fractal mengaku awalnya sulit menentukan badan hukum bagi social enterprise yang ia dirikan itu. Batik Fractal merupakan produsen kain batik yang menggunakan software ilmu matematika fraktal. Organisasi ini mengajak perempuan warga Dago Pojok, bandung untuk mendesain batik menggunakan software tersebut.
“Saat saya mau mendaftarkan Batik Fractal sebagai Perusahaan Terbuka (PT), saya masih tidka punya capital dan syarat minimal karyawan yang diperkerjakan,” cerita dia.
Nancy melanjutkan, karena perusahaannya ingin memiliki profit, maka ia memilih mendirikan CV dengan nama CV Piksel Indonesia. Lewat CV, dirinya lebih mudah untuk mencari funding atau investor dalam rangka meningkatkan skala bisnisnya.
“Kami menghidupi social cost kami lewat keuntungan bisnis yang kami lakukan,” terangnya.
Di sisi lain, Gita Syahrani, pengacara sekaligus salah satu pendiri Socolas (Social Corporate Lawyers Society) mengungkapkan, selama menjadi pembicara di berbagai forum, banyak komunitas sosial atau social enterprise yang bertanya-tanya mengenai legalitas sebuah badan hukum.
“Kami di Socolas memberikan bantuan hukum dan pendampingan mengenai bagaimana komunitas sosial bisa memahami legalitas seperti apa yang dibututhkan dalam menjalankan kegiatan usaha dan sosialnya,” papar Gita.
Socolas, lanjutnya, merupakan sekumpulan pengacara yang melakukan aktivitas pro bono untuk membantu legalitas social enterprise. Ada tiga bantuan yang diberikan Socolas. Pertama, konsultasi reguler yang bisa dilakukan baik via email ataupun dengan pendampingan.
Kedua, memberikan pelatihan mengenai badan hukum untuk social enterprise. Kegiatan bisa berdasarkan undangan maupun agenda Socolas. Ketiga, Socolas membantu social enterprise agar bisa membuat kajian hukum.
“Yang juga penting kami memberikan edukasi mengenai hak dan kewajiban antara social enterprise dengan pihak ketiga, jika mereka melakukan negosiasi. Banyak, seniman misalnya, tidak tahu seberapa layak mereka mendapatkan fee atau royalty,” tegas Gita.
Ke depannya, Socolas akan memberikan biaya bagi klien atau social enterprise yang ingin menggunakan jasanya. Sebab selama ini, tak ada biaya sama sekali yang dibebankan, sehingga social cost ditanggung 100% oleh donor.
“Kami ingin berkembang sebagai social enterprise di bidang bantuan hukum. Namun, kami memberikan harga yang jauh lebih murah dari lembaga hukum profesional lain,” paparnya.