Menonton film atau membaca karya-karya fiksi ilmiah tentang relasi manusia dan mesin selalu menarik. Selain karena mengusung sentuhan futuristik, juga plot cerita yang tak jarang mengaduk-aduk emosi. Hingga saat ini, sudah banyak sekali karya fiksi ilmiah yang mengangkat tema relasi manusia dan mesin ini, dari persahabatan hingga permusuhan.
Yang paling menarik, baik film fiksi ilmiah yang beraliran utopia maupun distopia, banyak ide-idenya yang sudah mendekati kenyataan atau bahkan sudah menjadi kenyataan pada saat ini. Ide perbincangan manusia dan mesin seperti dalam film Finch (2021), Her (2013), atau Robot & Frank (2021), misalnya, menjadi semakin nyata dengan kehadiran chatbot atau teknologi virtual assistant berbasis kecerdasan buatan (AI).
Ide robot pengganti dalam film Surrogates (2009) yang dibintangi Bruce Willis juga semakin dekat dengan kenyataan. Film ini mengisahkan, pada masa depan, robot-robot pengganti manusia akan mendominasi. Manusia memilih tinggal di rumah saat para surrogates bekerja menggantikan mereka dengan dikendalikan dari jarak jauh. Sementara, di kehidupan nyata, peran mesin “surrogates” semakin banyak dengan menggantikan tugas-tugas manusia. Menurut laporan The Future of Jobs yang dirilis oleh World Economic Forum, pada tahun 2025, akan ada 43% pelaku industri yang melakukan reduksi atau pengurangan jumlah tenaga kerja sebagai konsekuensi dari penerapan integrasi teknologi tersebut.
Perkembangan teknologi supermaju ini memang sebuah keniscayaan dalam sejarah manusia. Teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk menopang kehidupan manusia (tech for good), tetapi juga bisa digunakan untuk tujuan jahat dengan daya rusak luar biasa (tech for bad). Yuval Noah Harari, penulis buku Homo Deus dan Sapiens, mengatakan ada tiga tantangan besar yang dihadapi manusia pada abad ini, yakni perang nuklir, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi, khususnya kebangkitan kecerdasan buatan dan bioengineering. “Ini akan mengubah dunia lebih dari apa pun,” katanya.
Benarkah teknologi kelak akan seratus persen menggantikan peran manusia? Benarkah manusia akan menemukan kebahagiaan sejati ketika hidupnya ditopang dengan mesin-mesin pintar? Namun, mengapa banyak orang yang sudah mulai bosan dengan perjumpaan virtual melalui zoom dan ingin kembali tatap muka secara fisik dengan teman-temannya? Dan, mengapa mereka berbondong-bondong lagi balik ke mal padahal mereka bisa belanja secara daring di platform e-commerce?
Machine is Cool, Human is Warm
Relasi manusia dan mesin menjadi salah satu topik sentral yang diangkat dalam buku Marketing 5.0, Technology for Humanity (Wiley, 2021). Buku ini menyebut bagaimana teknologi-teknologi maju (Next Tech), seperti AI, natural language processing (NLP), teknologi sensor, robotik, augmented reality (AR) dan virtual reality (VR), hingga IoT dan blockchain bisa dimanfaatkan oleh pemasar membentuk pengalaman baru pelanggan (New CX).
Buku ini juga menggarisbawahi kedekatan relasi manusia dan mesin. Pasalnya, teknologi tak lain merupakan replikasi atau perpanjangan kemampuan dan kebutuhan manusia. AI, misalnya, merupakan replikasi dari kemampuan berpikir manusia. Replikasi ini sudah dibahas di tulisan yang lalu tentang relasi intim manusia dan mesin.
Lalu bagaimana manusia menempatkan diri dengan mesin-mesin pintar ciptaannya tersebut? CEO Iwan Setiawan dalam podcast-nya di Marketeers TV bertema digital marketing mengatakan, hal-hal yang berbau teknologi maupun komputer selalu terkesan keren (cool). Namun, mengapa orang-orang tetap senang bertemu dengan teman-temannya, tetap berinteraksi dengan salesman, tetap lihat pameran, dan sebagainya? Karena semakin kita banyak berinteraksi secara digital, semakin kita haus untuk berinteraksi antara human to human. Relasi antarmanusia itu lebih hangat (warm) dan tidak cool. “Kombinasi antara cool technology dengan warm interaction antara manusia dengan manusia inilah yang akan menjadi masa depan pemasaran,” kata Iwan.
Relasi Komplementer
Kombinasi antara manusia dan mesin tersebut mengusung relasi komplementer atau saling melengkapi. Tidak semua kemampuan manusia bisa diautomasi oleh mesin atau robot. Manusia maupun mesin memiliki domain kerja masing-masing.
Mesin mampu secara efektif memproses data, mengolah informasi, dan pengetahuan. Sementara manusia mempunyai kecakapan untuk memilah banjirnya informasi, menarik insight, dan menemukan hikmah atau kebijaksanaan (wisdom).
Mesin mahir dalam berpikir secara konvergen, terstruktur, dan berpola. Sedangkan manusia cakap berpikir secara divergen dan mampu menemukan solusi-solusi out-of-the box. Mesin memiliki sistem kerja logis luar biasa berbasis algoritma tertentu. Manusia memiliki empati untuk menciptakan relasi yang menyentuh hati manusia lainnya.
Mesin bisa diandalkan untuk tugas-tugas yang sifatnya repetitif dan terprogram dengan kecepatan dan skala besar. Manusia bisa fleksibel untuk tugas-tugas yang menuntut pemahaman kontekstual dan pertimbangan berdasar akal sehat.
Karakter-karakter manusia dan mesin tersebut menandakan bahwa mesin tak akan sepenuhnya menggantikan manusia. Yang dibutuhkan bagi masa depan pemasaran adalah kolaborasi antara manusia dan mesin. Sekali lagi seperti ditegaskan dalam buku Marketing 5.0: machine is cool, but human is warm.