Immersive menjadi kata kunci dalam konsep Marketing 6.0 yang belum lama ini diperkenalkan. Immersive atau meta ditandai dengan kehidupan di mana online dan offline menyatu tanpa batasan (unified). Ini menjadi karakter kehidupan dua generasi paling muda, yakni Gen Z dan Gen Alpha.
Bagaimana pengalaman immersive tersebut terbentuk? Menurut Iwan Setiawan, Co-Author Marketing 6.0 The Future is Immersive (Wiley, 2023), ada lima elemen yang menyusun pengalaman immersive. Pertama, frictionless experience. “Semua proses berjalan mulus tanpa gesekan. Di sini, proses yang sifatnya transaksional seperti beli tiket konser atau registrasi dilakukan secara online, tanpa perlu lagi interaksi fisik,” kata Iwan di MarkPlus Conference 2024 yang digelar di The Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place, Kamis (7/12/2023).
Kedua, multisensory experience. Pengalaman ini terbentuk ketika seluruh pancaindra manusia terstimulasi. Dalam konser misalnya, penonton merasa dirinya dikelilingi dan terlibat dalam sebuah pengalaman yang diciptakan.
“Dua komponen utama multisensori adalah visual dan audio. Katanya, 70% stimulus ke otak manusia adalah visual, 20% audio, sisanya sentuh indra lainnya. Artinya, multisensori itu 70% sudah bisa diwujudkan dengan digital, dalam bentuk audio visual tanpa ada interaksi fisik,” ujar Iwan.
Ketiga, participate experience. Partisipasi memainkan peranan penting dalam membangun pengalaman immersive. Di sini, orang bisa ikut berpatisipasi di dalam sebuah event atau konser. Misalnya, mengajak penonton ikut menyanyi bersama atau melakukan aktivasi lain secara bareng-bareng alias ada co-creation experience.
Keempat, interactive experience. Ada upaya membangun interaksi dengan audiens. Saat konser Coldplay di Jakarta yang lalu, Chris Martin menarik dua penonton naik ke atas panggung untuk berdialog dan menyanyi bersama. Interaksi ini juga bisa dibangun melalui tanya jawab dan percakapan.
Kelima, storytelling experience. Pengalaman yang bagus terjadi bila dikemas dengan metode bercerita yang menyentuh. Selalu menyematkan cerita di balik banyak elemen dalam event tersebut. Misalnya, ada cerita green yang diusung dalam konser. “Semua elemen konser ada ceritanya. Termasuk song list yang ditampilkan, selalu ada cerita di balik karya lagu yang dibawakan,” kata Iwan.
BACA JUGA: Marketing 6.0 Jadi Pendekatan Terbaik untuk Gen Z dan Gen Alpha
Iwan menambahkan, ada dua jenis immersive experience, yakni online in offline atau extended reality yang jamak dialami oleh Gen Z dan offline in online atau metaverse yang dilakukan oleh Gen Alpha. Gen Z dicirikan dengan aktivitas digital namun paling senang belanja di toko fisik dibanding generasi-generasi yang lebih senior. Mereka butuh interaksi digital di dalam kanal fisik. Contohnya di gerai McD. Di gerai fisik, konsumen bisa memilih menu melalui papan digital yang disediakan.
Sementara, Gen Alpha terbilang unik. Mereka senang berinteraksi secara fisik namun di dunia virtual. Belum lama ini, di media sosial tersebar adanya anak-anak melakukan demonstrasi bukan di jalanan, tetapi di Roblox. Inilah yang disebut pengalaman offline in online. Inilah dunia yang disebut Metaverse seperti yang terjadi di Roblox dan Fortnite.
“Pada akhirnya, kalau kita percaya bahwa masa depan ada di tangan Gen Z dan Gen Alpha, maka kita harus percaya juga bahwa masa depan itu immersive,” pungkas Iwan.
———
Ingin mendalami Marketing 6.0 langsung dari penulisnya? Silakan ikut Book Launch & Seminar Marketing 6.0 The Future is Immersive pada 19 Januari 2024 di CGV Grand Indonesia. Lakukan registrasi di SINI