Lanskap pemasaran senantiasa berubah alias dinamis. Dinamika ini juga ditandai dengan generasi yang mendominasi pada zaman tertentu. Sejak 15 tahun lalu, orang mulai membicarakan Generasi Milenial atau Gen Y. Di era sekarang, Milenial sudah tidak bisa lagi dianggap segmen muda lagi. Yang disebut segmen muda saat ini adalah Gen Z dan Gen Alpha.
Milenial memang saat ini menjadi revenue generator, namun segmen ini sudah tidak trendi lagi. “Yang trendi saat ini adalah dua generasi paling muda, yakni Gen Z dan Gen Alpha. Mereka membutuhkan pendekatan yang baru,” kata Iwan Setiawan, CEO MarkPlus, Inc. & Marketeers sekaligus Co-author Marketing 6.0 The Future is Immersive (Wiley, 2023) di MarkPlus Conference 2024 di The Ritz-Carlton Jakarta Pacific Place, Kamis (7/12/2023).
Ada perbedaan antara Milenial dengan Gen Z dan Alpha. Milenial merupakan digital savvy yang belajar dan terhubung dengan internet pertama kali saat mereka berada di kampus atau di kantor. Artinya, mereka sudah cukup umur ketika terpapar dengan internet. Sementara, Gen Z & Gen Alpha tereskpos dengan internet sejak umur di bawah lima tahun.
“Dengan kata lain, Milenial belajar dan bekerja dengan teknologi, sedangkan Gen Z dan Gen Alpha hidup dengan teknologi. Teknologi bagi Milenial sebagai alat untuk bekerja dan belajar, sedang bagi Gen Z dan Alpha, teknologi merupakan way of life mereka,” katanya.
Di kalangan Milenial, karena teknologi sebagai alat, maka online dan offline terpisah. Di kalangan Gen Z dan Gen Alpha, online dan offline sudah tercampur tanpa batas yang jelas. Iwan mencontohkan sekelompok anak-anak Gen Z atau Alpha yang main game dalam satu ruangan selama dua jam tanpa bicara, namun mereka bercakap-cakap dalam game tersebut. “Secara fisik, mereka bersama dalam kedekatan, tetapi mereka terhubung secara digital. Mereka tidak lagi melihat perbedaan antara online dan offline,” katanya.
BACA JUGA: Marketing 6.0 dan Lima Komponen Penyusun Immersive Experience
Sayangnya, sambung Iwan, di banyak perusahaan terjadi pemisahan antara tim online dengan tim offline yang mana keduanya berasal dari tim yang berbeda. Pasarnya tidak terpisah, tapi perusahaan malah memisahkan keduanya dengan silo-silo. Karena itu, perusahaan harus memiliki prespektif baru terhadap Gen Z.
Pendekatan yang paling cocok untuk Gen Z dan Gen Alpha adalah pendekatan immersive yang sesuai dengan karakter kehidupan mereka di mana online dan offline menyatu dalam kehidupan mereka tanpa batasan. Iwan menyebut lima elemen pembentuk immersive experience, antara lain frictionless, multisensory, participative, interactive, dan storytelling.
The Next Step of OMNI
Bila dirunut dari sejarah perkembangnya, relasi online dan offline ini memiliki beberapa tahapan atau tingkatan. Pertama, multichannel marketing. Di sini, kanal online dan kanal offline terpisah dan orang bisa memilih salah satunya. Sifat keduanya adalah independen. Orang bisa beli barang di toko fisik atau di e-commerce. Ini menjadi penanda masa ketika masuk pertama kali di dunia digital.
Tahap kedua adalah omnichannel marketing. Di era ini, online dan offline saling terintegrasi. Konsumen dalam customer journey bisa berpindah-pindah antardua kanal ini. Muncullah tren pencarian secara online tapi pembelian secara offline (webrooming) dan pencarian di toko offline tapi pembelian secara online (showrooming).
Tahap ketiga adalah metamarketing. “Di sinilah, unifikasi online dan offline terjadi secara sesungguhnya atau imersif. Katakanlah online in offline atau sebaliknya,” katanya.
Karakter ketiga tersebut menjadi karakter Gen Z dan Gen Alpha. Menurut Iwan, ada dua jenis immersive experience, yakni online in offline atau extended reality yang jamak dialami oleh Gen Z dan offline in online atau metaverse yang terjadi di kalangan Gen Alpha. Gen Z dicirikan dengan aktivitas digital namun paling senang belanja di toko fisik dibanding generasi-generasi yang lebih senior. Mereka butuh interaksi digital di dalam kanal fisik. Contohnya di gerai McD. Di gerai fisik, konsumen bisa memilih menu melalui papan digital yang disediakan.
Sementara, Gen Alpha terbilang unik. Mereka senang berinteraksi secara fisik namun melakukannya di dunia virtual. Belum lama ini, di media sosial tersebar adanya anak-anak melakukan demonstrasi bukan di jalanan, tetapi di Roblox. Inilah yang disebut pengalaman offline in online. Inilah dunia yang disebut Metaverse seperti yang terjadi di Roblox dan Fortnite.
Pada akhirnya, Iwan menegaskan, kalau kita percaya bahwa masa depan ada di tangan Gen Z dan Gen Alpha, maka kita harus percaya juga bahwa masa depan itu immersive.
——–
Ingin mendalami Marketing 6.0 langsung dari penulisnya? Silakan ikut Book Launch & Seminar Marketing 6.0 The Future is Immersive pada 19 Januari 2024 di CGV Grand Indonesia. Lakukan registrasi di SINI