Entrepreneurship selalu lekat dengan konsep UKM, usaha kecil menengah. Mereka yang baru membuka usaha dalam skala kecil biasanya langsung disebut dengan istilah tersebut. Namun kata kecil rupanya menjadi permasalahan.
Utamanya adalah soal ketenagakerjaan. Di Indonesia, tidak sedikit masyarakat memandang rendah UKM dan memilih bekerja di perusahaan lebih besar. Masih ada pemikiran soal gap besar pendapatan dengan bekerja untuk UKM dibanding perusahaan besar.
Padahal belum tentu pendapatan besar di perusahaan sejalan dengan produktivitas si pekerja. “Hal yang sama sebenarnya dialami juga di Malaysia dan menjadi tantangan besar dalam membangun UKM,” ujar Chairman International Council for Small Business (ICSB) Malaysia Tan Sri Abdul Rahman di acara Humane Entrepreneurship (HE) Symposium di Jakarta pada Selasa (5/12) 2017.
Menurut Rahman, masyarakat mereka susah bekerja untuk UKM karena tidak melihatnya sebagai sesuatu yang menjanjikan dari segi pendapatan. Ada gap besar antara pegawai dan stakeholder UKM di sana. Padahal seperti di Indonesia, belum tentu mereka juga seproduktif itu sehingga layak diberi pendapatan lebih besar.
“Salah satu solusi kami dalam menjembatani itu adalah dengan memasukan unsur teknologi. Produktivitas bisa ditingkatkan dengan teknologi. Jadi UKM itu ekosistemnya bisa harmoni dan seimbang. Contoh paling bagus pengembangan UKM ke arah tersebut adalah Korea, Jepang, dan China. Mereka bisa menyelesaikan masalah tersebut dari atas sampai ke bawah,” tutup Rahman.
Tentu saja untuk menarik sumber daya manusia untuk bekerja di UKM adalah bagaimana menghasilkan kultur yang baik. Rahman menyatakan bahwa aspek human life harus diutamakan. Di sini kita berbicara soal kultur.
Ada istilah UKM atau perusahaan harus doing good, yang artinya sebenarnya luas. Namun minimal aspek human life seperti kebahagiaan karyawan terpenuhi. Selain faktor teknologi, kebahagiaan karyawan akan membuat mesin perusahaan berjalan semakin efisien.
