Mayora, Brand Besar yang Percaya Kekuatan Iklan

marketeers article
Tahun 2015, banyak brand yang melakukan pengetatan ikat pinggang dengan memangkas anggaran promosi. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh PT Mayora Indah Tbk, perusahaan konsumer yang menangani puluhan merek.
 
Tahun lalu adalah tahun berat bagi hampir semua industri, termasuk konsumer. Pasalnya, hampir semua kategori produk menaikkan harga. Namun, penyesuaian harga harus dibarengi dengan dukungan value proposition yang kuat, atau manfaat yang ditawarkan merek kepada pelanggan. 
 
“Kami tahun lalu malah menaikkan bujet promosi. Semester pertama memang orang berdarah-darah. Di semester kedua, berpikir berbeda. Pada saat itu, kita dorong dengan menaikkan iklan,” kata Vienno Monintja, Marketing Director M1 PT Mayora Indah Tbk.
 
Memang, ada perubahan cara Mayora beriklan. Sejak 2014, Mayora tidak hanya mengandalkan iklan televisi (TVC) sebagai satu-satunya format beriklan. Melainkan, perusahaan yang sudah berusia 39 tahun itu mulai masuk ke dalam sponsorship acara-acara televisi maupun sisipan iklan pada program acara yang memancing publik.
 
“Pada saat isu-isu seperti tragedi #MH17, Save KPK, dan kasus Kopi Sianida, dan isu LGBT, kami mem-block tayangan berita di televisi berita nasional. Kami beriklan pada saat adanya kontroversi yang memakan banyak perhatian publik,” ungkap Vienno. 
 
Cara itu mesti ditempuh Mayora, mengingat saat produk naik harga, value proposition mesti kembali ditingkatkan. Value proposition selalu memberikan alasan kepada seseorang untuk membeli. Dan tawaran itu hanya bisa dilakukan dengan beriklan.
 
Vienno melanjutkan, tugas Mayora bukan sekadar menjaga market share dan meningkatkan penjualan. Sebab, sebagian besar produknya adalah market leader di kategorinya. Sehingga, menjadi celaka apabila ia tidak bisa meningkatkan atau menjaga kapasitas volume di kategori itu 
 
“Kalau volume penjualan turun, kapasitas mesin pabrik terganggu. Maka itu, kita dorong dengan televisi dan aktivitas below the line,” tuturnya.
 
Vienno masih mempercayakan televisi sebagai media terbesar tempatnya beriklan. Pasalnya, seluruh produk yang dimiliki Mayora tergolong produk massal. Mulai dari biskuit Roma, Choki-Choki, permen Kopiko, Beng-Beng, Torabika, Slai Olai, dan lain sebagainya. 
 
Tak Lupakan Digital
Kendati demikian, bukan berarti tak ada satupun produk Mayora yang beriklan di media digital. Beng-Beng adalah produk wafer lapis cokelat yang tahun lalu masuk ke ranah digital. 
 
Lewat iklan Makan Langsung vs Makan Dingin, wafer yang disegmentasikan untuk kalangan remaja itu menggelar kompetisi dubmash. Kompetisi ini mengajak konsumen melakukan lipsing guna menirukan adegan dari iklan tersebut. 
 
Video lipsing itu pun tersebar melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, dan YouTube. Hal itu tentu berdampak pada conversation rate Beng-Beng di kalangan netizen. Semua hanya dilakukan berkat bantuan user generated content.
 
“Saya tidak pernah melihat ada brand anak muda yang se-hype Beng-Beng. Animo anak muda terhadap Beng-Beng dingin atau tidak ternyata besar sekali,” ujarnya. 
 
Sebagai brand yang sebenarnya sudah tak muda lagi secara usia –sudah berusia 30 tahun–, penetrasi Beng-Beng sudah sangat tinggi. Namun, tuntutan untuk meningkatkan sales masih terus berjalan.
 
“Meningkatkan penetrasi sudah tidak mungkin lagi. Satu-satunya jalan adalah dengan meningkatkan frekuensi pembelian per orang,” ujarnya.
 
Diyakini Vienno, iklan tersebut berhasil meningkatkan frekuensi pembelian Beng-Beng menjadi 1,5 hingga dua kali lipat dari biasanya. “Jika dulu orang membeli 4 sampai 5 Beng-Beng per hari, sekarang bisa 8 sampai 10 Beng-Beng,” paparnya.
 
Dia juga melanjutkan, “Beng-Beng itu rata-rata dikonsumsi sebanyak dua kali per orang. Saking penetrasinya sudah tinggi sekali.”

    Related