Kondisi pertumbuhan komoditas kakao Indonesia saat ini kian menurun. Direktur Jenderal Perkebunan Bambang mengatakan, upaya pemulihan kakao telah diupayakan sejak tahun 1980. Namun, saat ini hampir 70-90% hanya berupa kakao rakyat.
Ditemui di Jakarta, Kamis (16/06/2017), Bambang mengatakan rendahnya produktivitas kakao disebabkan tidak adanya regenerasi kakao baru. “Kondisi kakao saat ini sebagian besar sudah tua umurnya. Seluruh pihak terkait, baik stakeholder dan pemerintah harus memperhatikan hal ini, jika tidak komoditas ini akan tergantikan dengan komoditas lain,” kata Bambang.
Upaya pemerintah saat ini terpusat pada investasi tahun 2015-2019. Bambang menjelaskan, Kementerian saat ini tengah mengupayakan anggaran untuk tahun 2018. Anggaran ini nantinya akan dialokasikan dalam bentuk pembenihan.
Tidak bekerja sendiri, pemerintah juga membuka jalan bagi para pelaku bisnis untuk turut membantu pengembangan produktivitas kakao Indonesia. Pemerintah menggandeng Mondelez, perusahaan yang membawahi beberapa produk dengan campuran cokelat, seperti Oreo dan Cadbury menjadi salah satu mitra pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kakao.
Mondelez menginvestasikan sebesar US$400 juta dalam 10 tahun ke depan untuk meningkatkan kesejahteraan 200.000 petani di Indonesia, Ghana, Brazil, India, Pantai Gading, dan Dominican Republic. Melalui program Cocoa Life, Mondelez memberikan program bantuan diantaranya dengan memberdayakan perempuan, memberikan pelatihan bagi petani, dan mengkampanyekan kepada generasi muda untuk melestarikan kakao.
“Kami menyadari bahwa kami adalah pembeli kakao terbesar di dunia, dan kami memerlukan ini untuk keberlangsungan berbagai produk kami. Untuk itu, kami bekerjasama dengan pemerintah melalui program Cocoa Life agar petani Indonesia dapat meningkatkan produktivitas mereka dan permintaan industri dapat terpenuhi,” terang Sachin Prasad, Presiden Direktur Mondelez Indonesia.
Sachin mengungkapkan, program ini diharapkan dapat menjangkau 200 ribu petani dengan pencapaian produksi kakao hingga empat ton per hektare.
Editor: Sigit Kurniawan