Memahami Dua Filosofi Budaya Bisnis China

marketeers article
SANYA, CHINA JANUARY 06: Jack Ma poses at the ‘Ma Yun Rural Teachers Prizeon January 6th, 2017 in Sanya , Hainan province, China. 2016 Award Ceremony of Jack Ma Rural Teacher Award was held in Sanya. One hundred rural teachers from provinces and regions in Midwest China all obtained award of 100,000 RMB per person. on January 6, 2017 in Sanya, China. (Photo by Wang HE/Getty Images)

China terlihat kian potensial dalam memegang peranan dunia. Pasalnya, proyek Belt and Road Initiative (BRI) diprediksi akan mempermudah hubungan geopolitik dan ekonomi global China. Untuk itu, penting bagi pelaku usaha dalam memahami lebih jauh mengenai business culture dari perusahaan asal negeri tirai bambu. Lalu, apa saja key point yang diperlukan dalam menjalin hubungan bisnis dengan perusahaan asal China?

Kondisi bisnis saat ini dikatakan Founder of Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal berada pada kondisi yang penuh ketidakpastian (uncertanity). Seiring dengan kekuatan perusahaan China yang telah mengakar hingga saat ini, penting bagi para pebisnis untuk memahami business culture China.

“Sayangnya masih sedikit dari kita yang memahami bagaimana cara meningkatkan engagement dengan perusahaan China. Padahal China memegang banyak peran di era yang bisa dikatakan uncertainty ini,” kata Dino di Jakarta, Senin (13/02/2018).

Poin pertama yang harus diperhatikan dalam menjalin hubungan bisnis dengan China dikatakan Patrick Tuah, Director Business Development of Angeline Suparto Law Corporation and Sino-Indonesia Investment Consultants Limited adalah dengan memahami filosofi utama mereka.

“Ada dua filosofi utama yang mengakar pada Chinese business culture. Pertama, “With harmony, comes prosperity”, dan yang kedua “A word is worth a thousand gold bars”. Hal ini penting untuk dipahami para pebisnis sebagai dasar dalam membangun hubungan bisnis mereka,” tutur Patrick.

With harmony, comes prosperity

Photo Credits: CSS-Tricks

Filosofi “With harmony, comes prosperity” memiliki makna betapa penting harmoni (keselarasan) dalam menjamin kekayaan, terutama untuk urusan bisnis. Harmonisasi dari seluruh aspek yang ada diperlukan dan dengan sendirinya, prosperity pun dikatakan Patrick akan datang.

Lebih jauh Assistant Country Manager Bank of China Du Qiqi menambahkan filosofi ini mencerminkan kultur bisnis China yang cenderung memandang segala sesuatu dalam jangka waktu yang panjang, bukan short term. Untuk sampai pada tahap ini diperlukan kemampuan komunikasi yang baik untuk menjalin hubungan kerja sama yang lebih intim. Kuncinya terdapat pada etika dalam berkomunikasi.

“Budaya China selalu mengedepankan etika, tetapi etika tidak bisa begitu saja membangun hubungan yang baik. Diperlukan harmonisasi antara etika dan kemampuan berkomunikasi. Semestinya, hal ini tidak terlalu sulit karena China memiliki karakteristik yang benar-benar berbeda dengan Jepang atau Korea. China lebih terbuka terhadap market, terutama investasi asing,” tutur Du.

Kawan Lama Grup sebagai salah satu perusahaan yang menjalin hubungan erat dengan China pun mengaku bentuk komunikasi yang intim menjadi kunci dalam berbisnis dengan perusahaan China

“Harus ada mutual relationship dengan partner. The respect is mutual, nobody begging here. Ini alasan mengapa kita harus mengidentifikasi mereka dan kami harus menemukan nilai yang tepat untuk satu dan yang lain. Kita harus mengetahui kekuatan masing-masing, who they are, who we are,” ungkap Business Development Manager of Kawan Lama Group William Widjaja.

“Jika kita hanya berpikir mendapatkan barang dengan mudah dan murah dari China, hal ini tidak akan membawa bisnis kita melangkah jauh. We must to think bigger than that. Ini adalah satu-satunya jalan untuk menumbuhkan bisnis kita bersama,” tutur William.

 A word is worth a thousand gold bars

China dikenal teguh menghormati ketentuan yang telah mereka sepakati. “Mereka cenderung taat pada terms yang berlaku, dan government savvy. Mereka memiliki akuntabilitas dan profitable, namun patuh pada peraturan yang berlaku,” ungkap Patrick.

Kecenderungan China untuk patuh terhadap peraturan yang telah disepakati membuat mereka cukup terang-terangan dalam mengemukakan keinginan mereka. Hal ini memang tidak terjadi sejak dulu. Du mengungkapkan, belakangan telah terjadi perubahan di dalam kultur mereka terkait hal ini.

Photo Credits: Time

Jika sebelumnya mereka terkadang sulit untuk mengatakan no lantaran kultur harmoni yang mereka emban, kini Chinese people lebih terang-terangan dalam mengungkapkan keingnan mereka.

No is no. Yes is yes,” tutur William memperjelas.

Editor: Sigit Kurniawan

Related

award
SPSAwArDS