Memahami Konsumen Melalui Neuroscience

marketeers article

Sebanyak 99% pekerja di dunia pemasaran cenderung melakukan trial and error. Hal ini semakin sering terjadi di era teknologi digital, sehingga hampir separuh dari pengeluaran marketing terbuang sia-sia.

Bicara soal marketing, kita mengenal istilah half the money I spend on advertising is wasted; the trouble is I don’t know which half. Praktisi neuromarketing Ignatius Untung mengungkapkan bahwa orang-orang marketing cenderung tidak mengetahui apa yang sebenarnya mereka lakukan. Mereka hanya bekerja untuk atasan mereka, mengejar target tanpa mengetahui mengapa mereka melakukannya. Hal tersebut semakin bertambah parah di era digital ini.

“Problemnya adalah banyak orang trial error hanya terfokus kepada what. Kita hanya mencari tahu apa yang  bekerja dan apa yang tidak. Tetapi, kita tidak mau memperdalam mengapa hal tersebut berjalan dan mengapa tidak. Sehingga, ketika konteksnya berubah saat pandemi, kita menjadi bingung. Maka dari itu, penting untuk kita start dari why. Semoga neuromarketing bisa menjawab hal tersebut,” jelas Ignatius.

Neuromarketing dan behavioral marketing memainkan peran yang penting dalam dunia marketing. Selain untuk mengetahui strategi marketing, neuroscience juga dapat digunakan untuk membangun sebuah produk. Pendekatan dari neuroscience adalah bagaimana kita membaca emosi dari konsumen.

Untung menyebut marketing sebagai permainan otak. Menurutnya, terdapat 7 hal utama yang ada dalam benak konsumen saat ingin membeli sebuah produk, antara lain grab attention, memory forming, social influence, emotion, brain chemical, dan decision. Ketujuh hal tersebut mempunyai  hubungan satu sama lain. Tujuh hal ini diperlukan agar pesan yang disampaikan dapat tersampaikan dengan baik kepada konsumen.

“Seharusnya kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan bagaimana penyampaian kita sampai di benak orang lain. Itu yang harus menjadi fokus untuk semua bisnis,” kata Ignatius.

Selanjutnya, Untung menjelaskan bahwa marketing yang baik selalu dimulai dengan empati. Kita harus mengetahui dan memahami apa yang konsumen katakan, lakukan, pikirkan, dan rasakan.

“Seorang marketing yang baik adalah seorang yang memiliki empati tinggi. Dia harus bisa menangkap sesuatu yang tidak dibicarakan, namun dia mengetahui apa yang orang tersebut inginkan,” tutup Ignatius.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related

award
SPSAwArDS