Saat ini, perusahaan semakin sulit memahami perilaku konsumen. Akses informasi dan gaya hidup yang mudah berubah membuat pola perilaku konsumen semakin sulit ditebak. Saat ini menjadi sebuah prestasi khusus bila brand mampu memahami dan dekat dengan konsumen.
Tantangan ini yang coba diselesaikan oleh TADA, sebuah digital platform yang bergerak untuk membantu para merek membangun advokasi dan engagement dengan para konsumen. Menurut Antonius Taufan, Founder dan CEO TADA, saat ini bukan lagi perkara membuat konsumen puas. Tapi juga bagaimana agar konsumen mau menyebarkan berita positif tentang merek tersebut.
“Tugas kami adalah meyakinkan bahwa word of mouth, yang biasa disebut juga dengan advokasi, memiliki dampak ke konsumen,” terang Taufan.
Melacak advokasi dari konsumen ini penting. Sebab merek menjadi mengetahui bagaimana persepsi brand mereka di mata publik. Apabila advokasinya positif, maka merek bisa menyiapkan langkah selanjutnya agar konsumen terus-terusan melakukan advokasi terhadap brand tersebut.
Layanan TADA membantu merek untuk berinteraksi dengan customer melalui platform membership. Platform ini berjalan secara online, dan memberdayakan merek untuk bisa memberikan point rewards untuk setiap transaksi dan hadiah tambahan seperti welcome reward, hadiah ulang tahun, double top up, maupun extra cashback. Reward yang disediakan bisa menyesuaikan dengan kebutuhan marketing masing-masing merek.
Sistem membership diaplikasikan oleh semua merek, baik yang memiliki toko fisik, maupun yang hanya mengandalkan platform online. Kedua transaksi terkoneksi dan bersinergi satu sama lain baik online maupun offline. TADA menghubungkan brand dengan customer melalui proses onboarding offline dan online. Proses offline itu sendiri melalui proses yang ada di toko fisik. Sedangkan proses online bisa secara independen terhubung dengan merek melalui fitur open membership dari aplikasi TADA.
Selanjutnya, customer akan mendapatkan poin ketika melakukan transaksi dengan merek itu. TADA memberikan sistem yang transparan. Setiap transaksi poin akan diterima secara realtime. Melalui fitur redemption, customer akan menukarkan poinnya dengan produk pilihan dari merek tersebut. Selain fitur redemption, merek dapat membuat sendiri katalog penjualan melalui fitur official memberstore TADA. Customer dapat membeli langsung via aplikasi TADA.
Sepintas, layanan yang diberikan oleh TADA mirip dengan layanan loyalty program yang saat ini sudah banyak diterapkan oleh para merek. Namun, Taufan berpendapat bahwa loyalty program tidak memberikan banyak manfaat yang diinginkan oleh brand.
“Kami ini one step beyond dari loyalty program. Pada dasarnya loyalty program adalah cost center karena merek memberikan poin kepada customer terhadap transaksi yang sudah mereka lakukan. Dan tambahan poin tidak membuat customer bertambah loyal karena customer lebih peduli terhadap kualitas dari produk dan servis yang diberikan oleh brand,” katanya.
Taufan menilai tahapan ketika konsumen membeli, mendapatkan, hingga akhirnya menukarkan poin, adalah serangkaian cost yang harus ditanggung oleh merek. Kendalanya, banyak merek saat ini melakukan loyalty program hanya karena ikut-ikutan. Ongkos yang dikeluarkan besar di awal, dan banyak merek yang belum melacak seluruh kanal pembelian. Akibatnya return of investment-nya pun tidak tercatat dengan baik.
“TADA mencoba untuk shift loyalty program dari cost center menjadi revenue center. Caranya bisa pakai model subscription, advocacy program, dan referral,” katanya.
TADA menilai, saat ini tantangan dari merek dalam membangun advokasi dan engagement masih berkaitan dengan masalah awareness. Belum banyak merek yang benar-benar memahami konsumennya. Bila sudah paham, mereka juga tidak banyak yang tahu bagaimana cara mengoptimalkannya.
“Brand–brand besar sudah mulai paham dan mengerti pentingnya advokasi dari para konsumen. Mereka juga sudah paham bagaimana cara mencari solusinya,” katanya.
Tapi, bagi Taufan hal ini tidak bisa disamaratakan. Sebab, tiap industri membutuhkan perlakuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, merek yang bergerak di industri FMCG akan sulit karena banyak bermain di pasar modern. Sedangkan merek F&B mengalami banyak kendala pada sistem kasir. Ada pun industri otomotif dan fashion mempunyai tantangan yang berbeda. “Orang beli kendaraan itu bukan aktivitas yang rutin. Tantangannya bagaimana agar mereka tetap menjadi konsumen yang loyal,” katanya.
Dalam memecahkan permasalahan yang ada bagi klien, TADA akan melakukannya beberapa tahapan. Pertama, mengetahui serangkaian informasi seputar konsumen pada sebuah brand. Mengetahui konsumen bukan perkara permasalahan demografis dan geografis. Sebaliknya, kita harus mengetahui hingga level holistik, mulai dari tanggal ulang tahun, kebiasaan, pola transaksi, hingga kegiatannya dalam beberapa kondisi tertentu.
Setelah mengetahui siapa konsumennya, barulah TADA melakukan tahapan selanjutnya, yakni segmentasi. Tentunya segmentasi ini akan menentukan strategi dan pendekatan yang berbeda. “Engagement ke semua konsumen itu berbeda-beda tergantung dari levelnya,” katanya.
Setelah mengetahui segmen, barulah konsumen bisa dipetakan pola advokasinya. Pola advokasi ini akan diukur kepada berapa banyak orang konsumen itu menyebarkan advokasinya. Katakan, konsumen telah melakukan advokasi ke 20 orang. Maka, dari 20 orang tersebut, berapa yang akhirnya menjadi sebuah transaksi. Kemudian, orang yang teradvokasi ini apakah melakukan advokasi kembali kepada kerabatnya.
TADA memiliki visi mengubah transaction menjadi relationship, dan customers menjadi advocate. Bagi Taufan, konsumen gampang pindah ke merek lain bila tidak memiliki relationship. Sementara bila merek hanya mengakuisisi konsumen baru tanpa ada advokasi dari konsumen, maka biayanya pun menjadi mahal.
Beberapa merek yang saat ini sudah menggunakan tools dari TADA mulai merasakan solusi dan mendapatkan hasil. Mulai dari extra sales dan ROI yang jelas. “Kami bisa make sure bahwa biaya yang mereka keluarkan bisa mencapai ROI sampai dengan objektif bisnis mereka,” katanya.
Intinya, setiap merek membutuhkan brand building. Baik, merek sendiri yang menyampaikan kepada konsumen atau sebaliknya. Namun, sebuah pesan yang keluar dari pengalaman konsumen akan dianggap sebuah pesan yang genuine. “Intinya, konsumen membicarakan merek kita dan pesan yang keluar bisa dipercaya,” kata Taufan.
Editor: Sigit Kurniawan