Tidak semua merek secara rutin digunakan oleh konsumen. Namun, pemasar bisa mendorong mereka untuk meningkatkan intensitas penggunaan. Hanya saja, proses membentuk kebiasaan konsumen tidak bisa berjalan secara cepat dan mudah.
Ilmu marketing memang sangat kompleks, sehingga tidak semua strategi yang pernah dilakukan untuk merek tertentu bisa dengan mudah dan sukses diaplikasikan pada merek lain. Pada titik ini, pemasar wajib mengetahui karakter produknya. Bukan hanya kategori, namun juga cara produk tersebut dikonsumsi.
Harapannya, mereka bisa menyiapkan strategi marketing yang tepat. Sayangnya, tidak sedikit pemasar yang berpikir sempit, merasa pengetahuan tentang karakter produk tidak jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan kategori.
Sebab itu, tak sedikit perusahaan otomotif yang cenderung mencari pemasar dengan latar belakang industri otomotif. Perusahaan consumer goods mencari pemasar dengan latar belakang yang sama, dan begitu seterusnya.
BACA JUGA: Membaca Perilaku Konsumen E-commerce
Padahal jauh lebih penting mencari orang dengan wawasan, pengetahuan, dan kemampuan mengenali karakter konsumen serta cara mereka mengambil keputusan ketimbang sekadar paham karakter kategori. Sebab, karakter kategori bisa tidak akurat untuk menggambarkan perbedaan di antara dua merek yang sesungguhnya berada di kategori sama.
Sebagai contoh, di kategori transportasi, bagaimana memasarkan merek rental mobil untuk liburan akan berbeda dengan memasarkan merek ojek online (ojol). Bedanya, yang satu consumption model-nya sekali-sekali, sementara yang satu lagi cukup sering.
Begitu juga di kategori pendidikan. Menjual sekolah juga berbeda dengan menjual tempat kursus bahasa inggris. Begitu juga dengan kategori food & beverage (F&B), menjual merek kopi yang dikonsumsi sehari-hari akan berbeda dengan menjual merek restoran fine dining yang dikonsumsi berkali-kali.
“Meski banyak merek berada di kategori yang sama, cara orang mengonsumsinya bisa berbeda. Banyak merek yang consumption habit-nya habitual, sehingga strategi marketing-nya bukan sekadar membangun awareness, image, dan promosi, tapi juga tentang upaya kita bisa membentuk kebiasaan,” ujar Ignatius Untung, praktisi Marketing & Behavioral Science yang dikutip dari Majalah Marketeers edisi November 2021.
BACA JUGA: Merumuskan Pemasaran yang Customer-Centric dan Tahan Resesi
Menjual produk untuk sekali konsumsi tentu tidak mudah. Apalagi membuat konsumen secara reguler mengonsumsinya dan membentuknya menjadi sebuah kebiasaan. Berbagai produk yang sifatnya berlangganan mulai dari pusat kebugaran, kursus bahasa, transportasi publik harian, TV kabel, internet, dan lain sebagainya menuntut strategi habit forming yang baik.
Menurut Untung, beransumsi bahwa merek yang baik akan mudah dipilih dan dibeli konsumen adalah naif. Apalagi, mengansumsikan konsumen akan menggunakan strategi reguler.
Berkaca di kehidupan sehari-hari, banyak hal dalam hidup kita yang kita tahu kalau itu hal baik, namun tetap saja tidak kita lakukan. Misalnya, kita tetap memakan makanan yang tidak sehat, walaupun tahu ada risiko di baliknya.
“Demikian juga kita tetap lebih sering rebahan walaupun tahu olahraga menyehatkan. Jangankan membangun kebiasaan untuk melakukan hal-hal baik tersebut, melakukannya sesekali saja sulit,” tukasnya.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz