Percepatan pencapaian keberlanjutan di Indonesia menjadi fokus utama dalam berbagai diskusi terkait tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Sebab, 85% dari indikator SDG tidak berada di jalur yang benar untuk mencapai SDGs pada tahun 2030.
Hal ini diungkapkan langsung oleh Y.W. Junardy, President Indonesia Global Compact Network (IGCN) yang menjelaskan tantangan utama saat ini adalah ketertinggalan dalam pencapaian SDGs. Dengan hanya enam tahun tersisa menuju tenggat waktu 2030, seluruh dunia, termasuk Indonesia, dihadapkan pada berbagai hambatan yang perlu diatasi segera.
Salah satu isu krusial adalah ketimpangan gender, yang turut berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. Namun, upaya untuk menutup kesenjangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan diperkirakan memakan waktu hingga 257 tahun jika tidak ada tindakan yang signifikan.
BACA JUGAL Jelang Hari Pariwisata Dunia, 3 Destinasi Sustainable Tourism di Indonesia
Selain itu, masalah lingkungan juga menjadi perhatian serius. Sampah plastik di lautan Indonesia, terutama mikroplastik, makin mengancam ekosistem laut.
Junardy menyatakan saat ini hanya 8%-10% dari sampah yang diproses dengan benar, sementara sisanya dibuang sembarangan.
“Masalah ini menjadi tantangan besar untuk pencapaian SDGs. Ditambah, pemanasan global yang kini telah berubah menjadi global boiling, fenomena yang lebih parah dari sekadar pemanasan global,” kata Junardy dalam acara Building Impactful Sustainability Outcomes yang diselenggarakan di Philip Kotler Theater Class, MarkPlus Main Campus, Rabu (16/10/2024).
BACA JUGA: HK: Pemasar Tidak Amati Perilaku Konsumen Menuju Sustainability Impact? Akan Habis!
Dalam upaya mengatasi tantangan ini, salah satu cara yang diusulkan adalah melalui program percepatan, seperti Accelerator Program yang ditujukan untuk meningkatkan keterampilan dan kapasitas bisnis dalam menerapkan prinsip-prinsip SDGs. Program ini, yang berlangsung selama enam hingga sembilan bulan, mencakup pelatihan intensif dalam bidang ESG (Environment, Social, and Governance), inovasi, kesetaraan gender, serta hak asasi manusia.
“Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Untuk mencapai SDGs pada tahun 2030, kita memerlukan pemikir-pemikir maju yang melihat keberlanjutan sebagai pendorong pertumbuhan, bukan sekadar tren atau reputasi. Oleh sebab itu, langkah-langkah lebih ambisius dari perusahaan-perusahaan penting dalam menerapkan tindakan nyata untuk mendukung agenda ini,” ujarnya.
Di Indonesia, tantangan untuk mempercepat SDGs masih sangat besar, namun dengan adanya dukungan program-program global seperti yang diinisiasi IGCN, ada harapan bahwa negara ini dapat membuat kemajuan yang signifikan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Editor: Ranto Rajagukguk