Oleh: Jimmy Wijaya, Sales Area Manager Retail Sumatera Selatan PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel
Sepanjang sejarah industri otomotif, Ford pernah melakukan recall atau penarikan kembali mobil terbesar pada tahun 1981 silam. Diduga, terjadi kerusakan di sektor parking gear pada mobil pabrikan asal Amerika Serikat (AS) itu.
Berdasarkan hasil investigasi, komponen tersebut menjadi penyebab mobil dapat mundur tanpa kontrol hingga menggelinding. Data mencatat setidaknya 98 orang meninggal karena masalah tersebut.
Ford kemudian mengambil langkah recall dalam jumlah yang tidak main-main, yakni 21 juta unit kala itu. Ini sebagai bentuk tanggung jawab sekaligus upaya melakukan evaluasi perbaikan hingga penelitian lanjutan.
BACA JUGA: Erick Thohir Angkat Wiko Migantoro Jadi Wadirut Pertamina
Di Asia, raksasa otomotif asal Jepang, Honda Motor Co juga dilaporkan pernah melakukan recall dalam jumlah fantastis, yakni 5,4 juta di seluruh dunia pada 2014. Sejumlah media massa menyebut Honda mengalami permasalahan pada sistem airbag, mengembang terlalu kencang hingga menyebabkan ledakan.
Konon, airbag ini yang menjadi biang keladi parahnya laka lantas yang terjadi hingga beberapa di antaranya meninggal dunia. Tak hanya Ford dan Honda saja yang pernah melakukan recall terhadap unit mobil bermasalah.
General Motors, Toyota, Mitsubishi hingga Daihatsu ikut menambah panjang perusahaan otomotif yang pernah melakukan recall. Recall dilakukan oleh sejumlah perusahaan otomotif merupakan bagian dari kewajiban kepatuhan hukum berdasarkan regulasi yang telah diatur.
BACA JUGA: Pertamina dan Hitachi Kembangkan Teknologi Konversi Energi
Ini harus dipatuhi oleh perusahaan otomotif. Sekaligus menunjukkan kepatuhan mereka terhadap peraturan yang berlaku di industri otomotif.
Alasan lain yang lebih prinsipil guna mencegah potensi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh kendaraan bermasalah terhadap penggunanya. Ini mencakup memperbaiki atau mengganti komponen yang tidak berfungsi dengan benar atau yang dapat menimbulkan risiko keselamatan.
Perusahaan seperti Ford, Honda atau perusahaan apa pun itu yang telah melalui proses panjang dan berada level tertinggi sangat memperhatikan aspek safety, terhadap produk yang dihasilkan. Mengapa?
BACA JUGA: Sukses Layani Investor, Pertamina Diganjar Penghargaan Dunia
Aspek keselamatan produk adalah prioritas utama untuk melindungi konsumen dari potensi bahaya atau cedera. Ini merupakan tanggung jawab moral dan etis perusahaan untuk memastikan produk mereka aman untuk digunakan.
Walaupun hal tersebut merupakan kewajiban, namun industri percaya bahwa produk yang dihasilkan tanpa melalui prosedur keselamatan akan berdampak pada reputasi perusahaan.
Itulah mengapa regulasi ini tidak hanya menghindari sanksi hukum tetapi juga menunjukkan komitmen perusahaan terhadap praktik bisnis yang bertanggung jawab demi mempertahankan reputasi yang jauh lebih baik. Jatuhnya reputasi perusahaan yang disebabkan oleh permasalahan safety tentu sangat berdampak signifikan terhadap trust.
BACA JUGA: Realisasi Reduksi Emisi Pertamina mencapai 124% dari Target
Baik dari sisi konsumen, mitra bisnis, pemegang saham, juga menentukan kebijakan. Reputasi positif ini penting untuk mempertahankan dan menarik pelanggan serta mitra bisnis.
Aspek safety atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) juga sangat berkaitan erat dengan pemasaran produk energi, baik itu produk bahan bakar minyak (BBM), gas hingga listrik. Produk-produk energi khususnya BBM dan LPG adalah produk yang digolongkan dalam kategori produk flammable atau barang yang mudah terbakar.
Otomatis, dalam penanganan produk ini hingga masuk dalam tahap pemasaran harus sangat mematuhi standar K3 mulai dari proses pengolahan penyimpanan, hingga distribusi BBM harus diprioritaskan untuk mencegah kecelakaan yang bisa menyebabkan kerusakan serius hingga mengancam nyawa. Catatan lain, keselamatan dalam produk energi tidak hanya melindungi konsumen dari risiko kecelakaan, tetapi juga membantu melindungi lingkungan dari pencemaran dan dampak negatif lainnya yang mungkin terjadi akibat penanganan yang tidak aman atau kebocoran.
BACA JUGA: Pertamina dan Toyota Berkolaborasi Kembangkan Ekosistem Hidrogen
Komunikasi dan Edukasi
Pada tahun 2007, pemerintah mengeluarkan kebijakan konversi energi dari minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG). LPG atau lazim disebut masyarakat dengan istilah elpiji 3 kg juga biasa disebut tabung melon karena warnanya hijau dengan ukuran yang compact.
Saat konversi gencar dilaksanakan, terjadi banyak insiden ledakan gas. Tercatat, ada 84 kasus ledakan gas yang terjadi sejak program konversi minyak tanah ke elpiji dimulai sejak tahun 2007.
Walaupun, angka tersebut mungkin tidak mencakup seluruh insiden yang terjadi hingga saat ini. Penyebab utama dari maraknya ledakan gas elpiji saat itu karena kurangnya pemahaman saat penggunaannya.
BACA JUGA: Pertamina dan Toyota Berkolaborasi Kembangkan Ekosistem Hidrogen
Pasalnya, para pengguna elpiji ini dulunya adalah pengguna minyak tanah. Pengguna belum paham terkait prosedur penggunaan yang benar, cara handling pemasangan regulator, juga mengidentifikasi jika terjadi kebocoran gas.
Sebagai penyedia produk sekaligus mendistribusikan, Pertamina ikut mengambil peran dalam mengedukasi pengguna baru elpiji. Pertamina mengomunikasikan secara langsung hingga ke media massa terkait prosedur pemakaian yang aman dan benar, termasuk cara memasang, menempatkan, dan memeriksa kebocoran gas.
Pertamina berkolaborasi dengan pemerintah dan lembaga terkait. Meningkatkan regulasi dan pengawasan terhadap distribusi dan penggunaan elpiji.
Termasuk melakukan pengawasan dan inspeksi berkala juga pemeliharaan terhadap tabung-tabung elpiji guna memastikan dalam kondisi baik dan tidak bocor. Cara-cara tersebut berhasil memberikan pemahaman kepada publik terkait prosedur aman dalam menggunakan tabung.
Hasilnya insiden ledakan gas yang diakibatkan minimnya pengetahuan bisa ditekan. Peringatan akan dampak risiko yang bisa ditimbulkan oleh produk energi juga dikampanyekan di lembaga penyalur seperti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Bentuk kampanye itu disajikan melalui pesan komunikasi langsung juga simbolik melalui tanda dan rambu peringatan. Rambu-rambu biasanya meliputi informasi petunjuk tata cara pembongkaran BBM, imbauan untuk harus mematikan mesin kendaraan saat pengisian BBM, tidak menggunakan handphone, larangan penggunaan kamera di area SPBU hingga larangan pengisian BBM ke dalam drum atau jerigen berbahan plastik.
Demi mengantisipasi insiden yang kemungkinan bisa terjadi kapan saja, SPBU diwajibkan menyediakan sarana penanggulangan kebakaran. Di area SPBU wajib tersedia alat pemadam kebakaran yang siap pakai dalam jumlah yang cukup sesuai standar yang berlaku.
Peralatan pemadam kebakaran antara lain dapat berupa Alat Pemadam Api Ringan (APAR), instalasi tetap atau otomatis. Jenis dan kapasitas alat pemadam kebakaran harus sesuai dengan klasifikasi kebakaran, dan lokasi penempatannya harus sesuai dengan standar yang berlaku.
Bukan Hanya Kualitas Juga Tanggung Jawab
Dalam industri energi, keberhasilan sebuah perusahaan tidak hanya diukur dari kualitas produknya, tetapi juga dari bagaimana korporasi memperhatikan dampak atau risiko yang dapat terjadi kepada konsumen. Kualitas produk yang baik memang penting, tetapi memahami dan mengelola risiko yang terkait dengan penggunaan produk energi adalah hal yang sama pentingnya.
Industri energi adalah salah satu sektor yang paling diatur. Kepatuhan terhadap peraturan keselamatan dan lingkungan tidak hanya wajib secara hukum, tetapi juga membantu mencegah sanksi dan denda.
Perusahaan energi harus mematuhi regulasi ini untuk menghindari risiko hukum dan finansial. Produksi dan penggunaan energi memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan.
Perusahaan energi harus mempertimbangkan dampak lingkungan dari produk mereka, seperti emisi karbon dan polusi. Praktik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan tidak hanya mengurangi risiko lingkungan, tetapi juga meningkatkan citra perusahaan di mata publik.
Risiko yang terkait dengan produk energi dapat berdampak negatif pada reputasi perusahaan. Kecelakaan dan insiden yang terjadi akibat produk energi dapat menyebabkan kerugian reputasi yang besar dan menurunkan kepercayaan konsumen.
Oleh karena itu, perusahaan energi harus proaktif dalam mengelola risiko untuk mempertahankan reputasi positif. Selamat memperingati Bulan K3 Nasional 2024. Semoga kita selalu mengutamakan keselamatan sebagai sebuah budaya.
Editor: Ranto Rajagukguk