Siapa bilang bahwa gaya hidup halal yang telah mendunia hanya mengurusi perkara makanan dan minuman saja? Gaya hidup berbasis syariah itu kini mengejewantah dalam sektor pendidikan.
Mungkin kita berpikir pendidikan halal adalah pendidikan yang diajarkan di sekolah atau universitas Islam. Padahal, pendidikan halal tak hanya menyangkut soal bahan ajar, melainkan melingkupi sistem, tata cara mengelola instutusi, hingga sumber daya manusia.
Indonesia memang dikenal memiliki banyak pondok pesantren, sekolah dan universitas Islam. Akan tetapi, bukan berarti bahwa lembaga pendidikan itu menerapkan sistem dan operasional organisasi berwawasan halal.
Pada World Halal Summit (WHS) tahun 2015 lalu di Malaysia pernah dibahas mengenai industri halal dari segi akademis. Dalam salah satu sesi, para peserta sepakat bahwa saat ini perlu adanya edukasi halal dan pengembangan kurikulum yang bertujuan untuk menyiapkan generasi agar memperoleh pekerjaan di dunia syariah.
Dr. Jonathan (Bilal) AJ Wilson, dosen ekonomi dan gaya hidup halal asal Inggris mengungkapkan bahwa dunia perbankan sudah mengadopsi perbankan syariah, namun sayang minim sekali pendidikan ekonomi syariah di institusi pendidikan dasar hingga menengah. Jikalau ada, studi ekonomi syariah baru mulai diajarkan di level universitas dan sekolah tinggi.
Di sisi lain, Dr. Marco Tieman dari Universiti Tun Abdul Razak juga menyarankan agar pengelola universitas, profesor, dan dosen mulai memasukkan komponen halal pada subyek mata kuliah yang sudah berjalan. Misalnya, Fakultas Farmasi bisa mengajarkan mahasiswa-mahasiswinya mempelajari obat dan kosmetika berbasis bahan baku halal.
Menurut dia, sekolah menjadi tempat strategis dalam mengedukasi halal. Kurikulum itu bisa diberikan lewat mata pelajaran umum semisal biologi, kimia dan lainya. Sebab edukasi halal menjadi tugas penyelenggara sekolah.
Apakah mata kuliah dengan materi halal bakal dijauhi oleh pelajar non-muslim? Ternyata tidak. Prof. Pervaiz Ahmad, Direktur Halal Ecosystem Monash University Malaysia malah menyebut kuliah keuangan syariah yang ia ajarkan malah merangkul banyak pelajar non muslim dibanding muslim.
Alasannya, mereka (mahasiswa non-muslim) tertarik untuk mengenal lebih jauh mengenai kajian-kajian Islam. Namun sayangnya, kata dia, pelajar muslim justru berpikir mereka sudah tahu semuanya tentang Islam.
Halal bisa berkembang menjadi sebuah bidang ilmu yang memerlukan orang-orang yang punya spesialisasi di bidang tersebut. Bidangnya bisa dipecah dalam beberapa kategori subyek. Misalnya, kedokteran, farmasi, keuangan, makanan-minuman, fesyen, psikologi, Teknologi Informasi, dan sebagainya.
Artinya, masih banyak ruang kurikulum halal di subjek-subjek yang selama ini belum tersentuh, seperti musik, film, hingga olahraga. Masalahnya, jika institusi yang memberikan kurikulum halal saja sedikit, bagaimana bisa mencetak lulusan spesialis halal?
Sejauh ini, Malaysia terbilang lebih dulu memulai kurikulum halal. Di Negeri Jiran itu, ada institusi lokal yang menawarkan gelar spesialis halal, seperti Universiti Teknologi MARA (UiTM) dan Universiti Malaysia Pahang. Mereka yang tertarik mengikuti pelatihan tersebut bisa memilih short course, sebelum mereka bisa masuk ke program intermediate dan advance.
Editor: Sigit Kurniawan