Oleh: Taufik, Dep Chair MCorp, Sec Gen IMA
Jauh sebelum transformasi digital merubah rules of the game kompetisi dunia bisnis, sejumlah pelaku bisnis yang punya anak perusahaan atau banyak brand seringkali berhadapan dengan implementasi marketing strategy yang tidak mudah.
Ambil contoh Astra International, kongolomerasi bisnis memegang banyak merek otomotif, mulai dari mobil mewah seperti Lexus dan BMW sampai mobil murah Daihatsu sigra dan Toyota Cayla.
Padahal di tengah-tengah itu, ada merek-merek mobil lain yang juga di jual Astra.
Karena di Astra, eksekutif yang akan menjadi calon pemimpin di masa depan mesti punya pengalaman yang luas, maka mereka akan diputar-putar di berbagai merek yang berbeda atau bahkan bisnis yang berbeda. Tentu ada yang kebagian memegang merek yang menjadi market leader yang kuat dan ada yang kebagian merek yang posisi di pasar kecil atau bahkan yang baru sama sekali.
BACA JUGA: Hermawan Kartajaya: Marketing for Impact, Kunci Strategi di Masa Depan
Dalam kondisi tersebut, maka dari atas akan terlihat berbagai jenis marketing strategy yang diterapkan dalam bisnis otomotif Astra International.
Hal yang sama juga terjadi di industri keuangan, terutama setelah banyak bank berkembang menjadi konglomerasi keuangan. Tantangan berat sering terjadi di bisnis non retail, yang jumlah pelaku tidak banyak, tapi potensi bisnis yang bisa digarap punya nilai yang besar.
Tentu ini memungkinkan timbulnya potensi konflik internal antar unit usaha dalam satu grup, yang bisa berdampak dalam jangka panjang.
Soalnya. hubungan bank dengan nasabahnya lebih komplek dibandingkan dengan penjualan mobil yang bisa jadi hanya berlangsung sekali sampai terjadinya closing.
Sementara dengan bank, hubungan yang bisa dibangun memungkinkan potensi untuk cross selling dan up selling.
Di sisi lain, bank tersebut juga menjalankan praktik pengembangan karir seperti Astra. Artinya, eksekutif yang akan naik ke puncak, akan ditempatkan ke berbagai wilayah atau unit usaha agar punya pengalaman yang luas.
BACA JUGA: Di Balik Strategi Experiential Marketing Samsung Galaxy Z Fold6 + S Pen
Sehingga ada eksekutif yang bertugas di unit usaha dengan kontribusi laba yang besar dan ada yang bertugas di unit usaha dengan kontribusi laba yang kecil.
Tentu dari sisi bank akan dilihat pihak-pihak yang punya peranan lebih besar sehingga unit bisnis yang punya kontribusi besar, apakah karena orang yang ditugaskan atau karena memang unit bisnis tersebut memang kuat sehingga siapapun yang bertugas akan bagus.
Hal yang sama juga akan dilihat apakah di unit bisnis yang kontribusi kecil penyebabnya apakah orang yang ditugaskan atau karena unit bisnis itu sendiri. Oleh sebab itu, pemimpin di bank bisa melihat beragam marketing strategy yang dijalankan.
Situasi di mana sebuah perusahaan punya beragam unit bisnis atau merek yang sebenarnya bersaing satu sama lain tidak hanya terjadi di perusahaan yang punya produk dengan harga jual tinggi tapi juga terjadi di perusahaan yang produknya berharga murah.
Karena memang sering diiklankan, paling tidak orang tahu kalau unit bisnis mi instan Indofood punya Indomie, Supermie dan Sarimi. Zaman dulu, yang juga dibikin iklan adalah Sakura Mie, dengan target market pembeli dengan kelas sosial ekonomi yang dibawah yang ditargetkan sebagai pembeli Indomie, Supermie dan Sarimi.
BACA JUGA: Bina UKM Disabilitas, Asuransi Astra Luncurkan Program Limit Breaker
Di internal ketiga perusahaan tersebut di atas, marketing battle plan bukanlah sesuatu hal yang sederhana dibandingkan yang namanya stand alone company, yang punya satu merek saja.
Di perusahaan seperti ini, tergantung dari posisi di pasar, maka perusahaan bisa memilih strategi defensive kalau memang merupakan market leader, ofensif kalau bukan market leader, flanking atau gerilya kalau memang berada di pasar yang kecil.
Memang di sejumlah perusahaan ada pandangan, lebih baik dikanibal saudara sendiri karena ujungnya uang akan masuk melalui kantong lain, dibandingkan di kanibal perusahaan lain.
Tapi pelaksanaan di lapangan tidak mudah, terutama ketika faktor pengembangan karir, termasuk mentoring, masuk dalam perhitungan. Karena itu, yang memegang merek atau unit bisnis yang punya potensi besar melakukan kanibalisasi mesti menjelaskan marketing strategy yang akan dilakukan dan sekaligus melihat dampaknya ke ‘saudara sendiri’.
Itulah sebabnya kalau hanya mengacu pada empat pilihan marketing battle plan secara kaku, bisa menimbulkan tantangan tersendiri dalam implementasinya.
BACA JUGA: Jaga Loyalty lewat Golf, BMW Astra Kembali Gelar JOYCUP
Sekalipun misalnya unit bisnisnya memang terpisah sampai ke saluran distribusi, tapi pada saat melakukan marketing campaign, para mentor dari unit-unit dalam satu grup yang bersaing akan memastikan tidak adanya penerapan secara frontal offensive atau defensive strategy terhadap saudara sendiri.
Itulah sebabnya, di dalam sebuah grup usaha, maka posisi yang menjadi market leader tidak akan berubah, antara lain karena akan meminimalkan offensive strategy secara frontal.
Jangankan perusahaan dalam satu grup usaha, perusahaan-perusahaan yang pemiliknya sama juga akan meminimalkan penerapan offensive strategy secara frontal.
Ini yang misalnya terjadi pada bank-bank BUMN. Mereka semua punya target menggarap pasar UMKM, karena sebagai bank milik negara, mesti terlibat dalam upaya membantu pelaku bisnis UMKM.
Dalam praktiknya, offensive strategy antar bank BUMN di pasar UMKM tidak terjadi. Meski pada suatu masa, di bank BUMN yang dikenal karena bisnis UMKM-nya sempat terjadi kekhawatiran kalau bank yang size-nya lebih besar akan masuk ke bisnis UMKM secara offensive.
BACA JUGA: Kolaborasi WINGS dan UNICEF Berupaya Wujudkan Generasi Bersih Sehat
Apalagi bank yang asetnya lebih besar punya kemampuan tersendiri dalam membangun image.
Menariknya, ketika alumni bank yang asetnya besar itu bertugas di kementerian dan bank BUMN lain, praktek untuk menghindarkan terjadinya offensive strategy secara frontal diformalkan dengan membuat penugasan yang berbeda-beda.
Itulah sebabnya, meski tetap menggarap pasar UMKM, bank yang asetnya paling besar juga tidak terlihat frontal. Padahal secara resources, kalau mau, bank tersebut bisa saja menjalankan offensive strategy secara frontal.
Kalau tidak bisa melakukan offensive strategy, maka pilihan yang ada adalah melakukan flanking atau guerilla.
Memang pelaksanaan flanking atau guerilla tidak meminimalkan sama sekali proses perebutan pelanggan, tapi karena dijalankan dengan resources atau wilayah yang terbatas, maka dampak kanibalisasi juga terbatas.
Ini berbeda situasinya kalau offensive strategy yang dilakukan dengan resources yang besar yang bisa merebut pasar secara signifikan.
Contoh offensive strategy dengan resources yang kuat bisa dilihat saat Wings memasarkan Mie Sedaap.
Ini adalah sebuah grup usaha yang bukan hanya sudah lama di Indonesia, tapi juga punya bisnis bahan baku industri personal care dan home care dan punya sejumlah brand yang lumayan kuat untuk home care dan personal care. Karena itu terbiasa melakukan offensive strategy.
BACA JUGA: WINGS FOOD Hadirkan Aktivasi Pondok Rehat untuk Pemudik
Hal yang sama juga dilakukan ketika meluncurkan Mie Sedaap di pasar. Dengan didukung dengan inovasi produk, Mie Sedaap melakukan offensive strategy secara frontal.
Ini bukan hanya dalam bentuk iklan secara gencar dalam waktu yang cukup lama, tapi juga memanfaatkan saluran distribusi yang sudah dirintis unit bisnis home care dan personal care yang pada praktiknya tidak banyak berbeda dengan bisnis mi instan.
Hal yang tidak diduga banyak orang adalah ketika pelaksanaan offensive tersebut tidak direspons dengan defensive strategy oleh sang market leader.
Padahal beberapa tahun sebelumnya ketika ada pemain fast-moving consumer goods (FMCG) multinasional yang mencoba menggarap pasar mi instan langsung direspons dengan defensive strategy yang tidak main-main.
Padahal pemain multinasional itu punya jaringan distribusi yang kuat dan kemampuan marketing campaign yang kuat.
Selain itu perusahaan tersebut juga masuk di pasar dengan inovasi produk. Hanya saja, inovasi produk yang dilakukan berbeda dengan yang dilakukan Mie Sedaap, yaitu inovasi produk yang tidak memperhatikan selera banyak orang Indonesia, khususnya kalangan menengah ke bawah.
BACA JUGA: Daya Tarik Guerilla Marketing Masa Kini: Kreativitas dengan Drone Light Show
Oleh sebab itu, perusahaan multinasional tersebut juga jadi pikir-pikir untuk terus menerus melakukan offensive strategy ketika penjualan produk tidak sesuai target.
Di sisi lain, sang market leader, selain membuat produk baru yang langsung head-to-head dengan produk perusahaan FMCG multinasional, juga agresif mengangkat mi instan lainnya, termasuk membuat variasi rasa. Dalam langkah ini sebetulnya sang market leader bisa mendapatkan uang.
Sementara di produk yang yang ditugaskan untuk head-to-head, penjualannya tidak sesuai target.
Itulah sebabnya ketika perusahaan FMCG multinasional menutup bisnis mi instan, maka merek yang ditugaskan oleh market leader mi instan untuk head-to-head dengan merek buatan perusahaan FMCG multinasional juga tidak dilanjutkan. Selain tidak mencapai target penjualan, juga bisa merepotkan kalau mesti punya terlalu banyak marketing battle plan.