Gejolak perekonomian global, perkembangan teknologi digital, persoalan nilai tukar (kurs), hingga defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) merupakan segelintir tantangan yang membelenggu industri kesehatan dan farmasi di Indonesia. Di tengah ragam disrupsi ini, PT Kalbe Farma Tbk. (Kalbe) mampu mempertahankan pertumbuhan dan memboyong sejumlah portofolio produk mereka menjadi market leader di berbagai negara.
Vidjongtius, Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk., menjadi sosok penting yang berada di belakang kesuksesan bisnis Kalbe. Ia menakhodai perusahaan ini untuk agile menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Pikirnya, “lebih baik mendisrupsi diri sendiri dibandingkan arus didisrupsi pihak lain.”
Dalam memimpin Kalbe, Vidjongtius selalu menekankan agar setiap karyawan Kalbe berani mendisrupsi diri untuk keluar dari zona nyaman dan masuk ke zona inovasi.
Ketika perusahaan dihadapkan dengan tantangan-tantangan tersebut, Vidjongtius datang dengan ide melakukan subsidi silang dari portofolio bisnis yang dimiliki Kalbe. Sekadar informasi, bisnis Kalbe terdiri dari sejumlah divisi, mulai dari farma yang melayani obat resep khusus untuk BPJS, produk-produk kesehatan (obat bebas); nutrisi yang membawahi sederet merek, seperti Fitbar dan Fitchips; hingga distribusi dan logistik.
Ketika divisi satu mengalami kesulitan, divisi yang lain menjadi tulang punggung untuk membantu menopang. Kuncinya, terletak pada kemampuan perusahaan dalam mengatur portofolio produk.
Sebagai contoh, saat divisi farmasi kesulitan biaya modal lantaran defisit BPJS, Kalbe menggunakan subsidi silang dari bisnis yang lain sehingga pelayanan tak terhenti meski kesulitan modal kerja. Alhasil, keberlangsungan bisnis masing-masing portofolio produk pun bisa terselamatkan.
Bicara soal kontribusi penjualan, lini distribusi dan logistik menjadi penyumbang pendapatan terbesar bagi bisnis Kalbe (32%), disusul oleh nutrisi (29%), farma (23%), dan produk-produk kesehatan (16%). Secara keseluruhan, pertumbuhan bisnis Kalbe berkisar 5%-7%. Kontribusi Kalbe terhadap ekspor nasional tercatat menyentuh 5%, dan ditargetkan tembus 6% pada tahun ini.
Meski telah merambah sejumlah negara-negara ASEAN, Nigeria, Timur Tengah, China, dan Srilanka, upaya Kalbe mengekspansi produk mereka kerap terhalang dengan non-tariff barriers. Persoalan seperti larangan menggunakan zat aktif tertentu, hingga proses registrasi yang memakan waktu bertahun-tahun menjadi tantangan yang dihadapi Kalbe di pasar global.
Vidjongtius pun menyiasati tantangan ini dengan tanggap mengikuti regulasi yang berlaku di masing-masing negara. Sekaligus, portofolio produk dengan persyaratan yang paling tepat agar bisa dipasarkan ke negara tujuan ekspansi.
“Kondisi saat ini, masing-masing negara menciptakan barrier yang bersifat non-tarif untuk menyelamatkan pemain lokal mereka. Aturan itu tidak bisa kita dikte, kita hanya manuver saja bagaimana ekspor tetap berjalan. Tinggal bagaimana kita sebagai pemain mampu menyiasati. Kalbe memilih jenis produk yang paling cepat proses registrasinya untuk masuk ke negara ekspansi yang kami tuju,” terang Vidjongtius yang telah berkarier selama 29 tahun di Kalbe.
Persoalan lokalisasi menjadi tugas selanjutnya. Kalbe memboyong tim Indonesia memimpin bisnis Kalbe di berbagai negara. Talenta-talenta lokal dari negara ekspansi juga dilibatkan untuk memberikan arahan mengenai kondisi pasar di masing-masing negara. Alhasil, sejumlah produk Kalbe berhasil menjadi market leader di negara ekspansi mereka.
Mixagrip diklaim Kalbe menjadi tablet obat flu nomor satu di Myanmar. Diabetasol menjadi market leader di Filipina, demikian pula dengan Extra Joss yang menjuarai pasar Filipina dan Malaysia. Sementara, Woods menjadi pemain nomor dua di Singapura, Malaysia, dan Afrika Selatan.
Untuk mengetahui strategi lebih lanjut yang digunakan Kalbe Farma guna menjadi market leader di berbagai negara, simak strateginya di majalah Marketeers edisi Desember 2019-Januari 2020.