Barangkali tidak banyak yang tahu tentang sejarah perdagangan budak dari Indonesia ke Afrika Selatan pada abad ke-18, tepat ketika negara ini dijajah Belanda. Kisah inilah yang lantas menjadi premis novel Sapaan Sang Giri karya Isna Marifa.
Buku yang pertama kali diterbitkan Penerbit Ombak ini menggali sekilas tentang sejarah Jawa dan Cape Colony. Pembaca akan diperkenalkan dengan pengaruh abadi ajaran spiritual Jawa, yang membimbing para protagonis melalui perjuangan mereka.
Kisahnya mengikuti perjalanan Parto dan Wulan, yang mendapati dirinya dijual oleh lintah darat kepada seorang nakhoda kapal VOC karena tidak mampu membayar utang. Mereka berangkat dari pelabuhan di Betawi menuju ujung selatan benua Afrika.
BACA JUGA: 3 Novel Fenomenal Cok Sawitri, Budayawan Bali yang Berpulang
Setelah berbulan-bulan tak tentu tujuan, Wulan dan Parto tiba di sebuah lahan perkebunan milik keluarga Belanda. Di sini, mau tak mau mereka belajar hidup sebagai budak dengan berbagai larangan dan keterbatasan.
Wulan menjadi korban kekerasan pengawas Belanda, sedangkan Parto dihantui penyesalan dan hasrat untuk pulang ke Jawa. Meski demikian, keduanya berupaya tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa dalam menghadapi rintangan hidup di tanah rantau.
Melalui kisah Parto dan Wulan pula, Sapaan Sang Giri menuturkan tahap awal berkembangnya masyarakat multikultural di Afrika Selatan yang berakar pada abad ke-17 dan ke-18. Mereka dikenal sebagai komunitas Cape Malay.
BACA JUGA: Desta Bacakan Puisi dari Buku “Kamu Tidak Istimewa”, Begini Sinopsisnya
Sekilas tentang Sejarah Cape Malay
Komunitas Cape Malay terbentuk ketika budak-budak dari berbagai wilayah Asia, khususnya Indonesia, serta Timur Tengah dibawa ke Cape Colony oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC).
Meski berada dalam kondisi perbudakan yang keras, komunitas Cape Malay berupaya untuk mempertahankan identitas budaya mereka dengan melakukan adaptasi dan perpaduan antara beragam tradisi lain dan pengaruh pribumi serta Eropa.
Para pangeran dan pejuang dari Nusantara yang diasingkan oleh VOC ke Tanjung Harapan menjadi faktor pemersatu dan tokoh pengayom bagi kalangan pekerja. Setelah penghapusan perbudakan, komunitas tersebut terus menghadapi tantangan sosio-ekonomi.
Kendati dihadapkan tantangan yang tak mudah, mereka tetap berkembang dan memberikan kontribusi signifikan terhadap keragaman budaya Afrika Selatan. Saat ini, Cape Malay tetap dikagumi karena warisan budayanya yang kaya.
Editor: Ranto Rajagukguk