Menjalani karier di bidang navigasi penerbangan bukanlah sesuatu yang disangka oleh Setio Anggoro. Mengenal dunia navigasi penerbangan lebih dari 20 tahun, laki-laki kelahiran Jakarta 42 tahun lalu kini menjabat sebagai Vice President of Air Navigation Service Planning di Perum LPPNPI (Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan AirNav Indonesia.
“Setelah lulus SMA, saya ingin kuliah di Universitas Indonesia, tepatnya di Fakultas Teknik. Tapi, ibu saya yang bekerja di Angkasa Pura memberitahukan ada pendaftaran Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP). Saya kemudian tertarik mencoba. Terlebih lagi, dengan tawaran beasiswa penuh hingga uang saku,” ujar Setio.
Setelah lulus, ia langsung ditempatkan di Makassar, Sulawesi Selatan. Sembari bekerja, Setio yang pernah tertarik melakukan bisnis bersama teman-temannya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan. Universitas Hasanuddin dipilihnya untuk mendapatkan gelar magister di jurusan Keuangan.
Setelah lama berkarier bersama Angkasa Pura I, Perum LPPNPI (AirNav Indonesia) hadir di awal 2013. Dengan direksi baru yang belum memiliki struktur yang berkembang. Setio menerima saran untuk bergabung. Ia kemudian masuk ke AirNav sebagai fasilitator keuangan. Ia menjalankan tugas menyusun anggaran hingga mengidentifikasikan aset.
Di awal kariernya bersama AirNav Indonesia, Setio menjadi bagian dalam pembangunan pondasi penerbangan. ”Dengan pengalaman di dunia navigasi penerbangan, saya percaya pengalaman tersebut bisa membantu akselerasi di AirNav. Salah satu yang cukup mengesankan adalah terbitnya peraturan pelayanan jasa navigasi (air navigation charges),” kata Setio.
Setelah berpisah dari Angkasa Pura, AirNav Indonesia belum memiliki catatan mengenai tarif izin penerbangan. Kehadiran regulasi pelayanan jasa nabigasi ini membantu stabilisasi perusahaan. Utamanya, bagi AirNav Indonesia yang kala itu baru saja didirikan. Dalam perencanaan dan peluncuran regulasi tersebut, Setio terlibat sebagai salah satu koordinator dari AirNav.
Kredibilitas Setio makin terlihat mana kala dirinya terpilih sebagai salah satu pegawai yang mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di ENAC (Ecole Nationale de l’Aviation Civile). AirNav Indonesia, memang bekerja sama dengan ENAC selama tiga tahun. Sepanjang waktu kerja sama itu, pegawai AirNav mendapat peluang untuk mengembangkan potensi mereka.
Setelah lolos tes untuk kualifikasi, pegawai yang terpilih masuk program Advance Master. Biaya selama pendidikan ditanggung penuh oleh perusahaan. Sebelum menyelesaikan pendidikan di jurusan Air Navigation System Engineering & Operation (Air Traffic Management), Setio mengungkapkan bahwa dirinya harus melalui salah satu kewajiban magang.
Ia kemudian melamar ke Beijing International Civil Aviation Organization (ICAO) Regional Sub-Office. Kantor tersebut merupakan perpanjangan tangan dari ICAO Asia Pasifik. Selama enam bulan, ia bertugas menyusun silabus atau materi pelatihan Performance-based Navigation (PBN). Bahkan setelah lulus pun, ia masih dipercaya dan dipanggil untuk menjadi pengajar di sana.
Bicara mengenai perjalanan karier serta pengalaman, Sekretaris Jenderal Indonesia Air Traffic Controllers Assocition (IATCA) itu menceritakan kejadian yang diingatnya. Tahun lalu, ketika terjadi gempa di Palu, Setio bersama tim ikut terlibat dalam upaya meminimalisir holding menggunakan prinsip ground delay program.
Ketika gempa terjadi, bandara sempat nonaktif. Setelah dibuka pun, banyak penerbangan ingin masuk namun mengalami kesulitan karena keterbatasan tempat. In house application untuk air traffic flow pun saat itu masih dalam pengembangan. Tetapi, dengan prinsip tadi, ia bersama tim selama satu pekan membantu mengatur aliran pesawat.
Dengan holding yang sedikit 40-60 pergerakan pesawat dapat ditangani. Tidak hanya pesawat pengangkut bantuan yang dapat datang dan pergi dengan lancar. Namun, pesawat komersil pun bisa menggunakan bandara dengan sistem yang mereka kembangkan.
Editor: Sigit Kurniawan