Baru-baru ini brand Dove melakukan blunder malui materi iklan mereka di Facebook. Dalam materi iklan singkat dengan durasi kurang dari enam detik, Dove memunculkan sosok wanita kulit hitam yang berganti pakaian dan berubah menjadi wanita kulit putih. Sontak materi iklan memunculkan kontroversi global dengan menganggap materi iklan tersebut berisikan rasisme dan muncul gerakan untuk memboikot produk Dove.
Dove pun langsung bergerak cepat untuk menarik peredaran dari konten iklan tersebut. Model iklan tersebut yang bernama Lola Ogunyemi menyebutkan banyak penonton yang salah mengartikan pesan dari iklan tersebut sebagai bentuk rasisme. Ia menilai bahwa ada baiknya bila penonton dan calon konsumen melihat iklan tersebut secara utuh dalam bentuk iklan 30 detik, tidak hanya dalam satu potongan saja.
Selama ini Dove dikenal sebagai merek personal care yang bisa merangkul semua kalangan. Dove merupakan inisiator sekaligus pionir dalam hal kampanye wanita tentang konsep kecantikan. Bila selama bertahun-tahun citra cantik dlekatkan pada wanita yang tinggi, langsing, dan muda. Dove justru melawan mentah-mentah dengan kampanye Dove The Real Beauty pada pertengahan era tahun 2000-an.
Alih-alih menggunakan model yang telah lekat dengan citra ‘cantik’, Dove membawa segerombolan wanita biasa-biasa saja namun ditampilkan layaknya seorang model. Kampanye ini berdasarkan riset Dove terhadap 3 ribu wanita di sepuluh negara, hasilnya hanya 2% dari narasumber yang mengkategorikan diri mereka sebagai cantik. Diusungnya kampanye ini sukses membawa nama Dove. Di tahun 2017 ini, situs riset Statista bahkan memasukan Dove sebagai Top 10 Global leading personal care worldwide berdasarkan brand values.
Tentunya apa yang terjadi terhadap Dove menjadi pelajaran bagi semua brand. Bagaimana salah satu brand yang paling bernilai di dunia bisa rusak reputasinya hanya melalui sebuah materi iklan kurang dari enam detik di dalam platform Facebook.
Isu rasial terus menjadi kontroversi. Tidak hanya Dove, sebelumnya beberapa brand juga sempat terkena getahnya akibat materi iklan yang menjurus pada konten rasial. Lantas, apakah memang brand-brand tersebut memang sengaja membuat materi berisikan rasisme? Atau mereka terpaksa membuat sesuatu yang inovatif dan singkat, mengingat saat ini era dari video iklan dengan durasi enam detik.
Bila dilihat secara keseluruhan pada materi iklan Dove, terdapat tiga model wanita, wanita kulit hitam, kulit putih, dan kulit cokelat. Pada iklan tersebut sosok wanita kulit hitam berganti pakaian dan menjadi sosok wanita kulit putih, yang kemudian berganti pakaian lagi dan menjadi sosok wanita berkulit cokelat. Tentunya bila melihat secara keseluruhan dan utuh iklan itu akan bermakna berbeda dengan sentimen yang ada saat ini.
Tentunya, tidak ada brand yang menginginkan untuk menghancurkan reputasinya dengan satu iklan yang bersifat rasial. Di era digital, kecepatan dan batasan durasi menjadi alasan dari sebuah brand untuk melakukan inovasi dan proses kreasi sekreatif mungkin untuk menarik minat dari calon konsumennya. Brand saat ini juga ingin agar terlihat inklusif dengan menggandeng segala golongan. Sayangnya, sampai saat ini masih banyak brand yang hanya sekadar ingin terlihat inklusif tanpa bisa menyampaikan pesan yang tepat dan akurat.
Dalam rangka untuk menyampaikan pesan yang tepat dan akurat, brand dan orang-orang di dalamnya harus mempunyai pemahaman yang mendalam tentang konsep ras. Tentunya dengan pemahaman tersebut bisa mengantisipasi dari konten-konten yang justru menjadi blunder. Jadi, jangan hanya sekadar kreatif dan cepat, pahami juga hal-hal yang tergolong sensitif di lingkaran calon konsumen agar tidak menjadi blunder.
Editor: Eko Adiwaluyo