Ambisi Lippo Group bermain di dunia online tercurah lewat kelahiran e-commerce MatahariMall.com pada tahun 2015. Konglomerasi yang didirikan Mochtar Riady itu menyuntikkan dana US$ 500 juta untuk pembangunan e-commerce sekaligus mengharapkan MatahariMall.com sebagai Alibaba versi Indonesia.
Awalnya, Lippo tak ingin menggunakan nama Matahari untuk bisnis online-nya lantaran nama ini sudah kudung familier sebagai merek Matahari Department Store, bisnis ritel Lippo yang hadir sejak tahun 1958.
“Awalnya, kami ingin memberikan nama QMall. Namun, awareness Matahari itu masuk 10 besar tertinggi di Indonesia. Mengapa tidak pakai Matahari saja?” ungkap Hadi Wenas, CEO MatahariMall.com saat menjadi pembicara MxTalk di Bina Nusantara Design School, f(X) Senayan, Jakarta, Rabu (1/3/2017).
Berselang setahun dari beroperasinya MatahariMall, perusahaan ritel PT Matahari Department Store Tbk, malah membuat e-commerce bertajuk MatahariStore.com yang diluncurkan November 2016. Peluncuran e-commerce ini menyiratkan pertanyaan di benak konsumen: Mengapa ada dua nama Matahari di dunia online?
Sebelumnya, Matahari Department Store (MDS) telah memiliki halaman khusus di MatahariMall.com. Namun, saat itu, jumlah barang yang dijual cukup terbatas.
Apalagi, Wenas bilang, pada masa-masa awal MatahariMall.com berdiri, stok barang kerap menjadi rebutan antara MatahariMall dan MDS. Dulu, presentase stok barang habis di MatahariMall bisa mencapai 50%. Namun, kini telah berkurang menjadi 10%-15%.
“Awal-awal, banyak store manager (MDS) yang meng-keep barangnya untuk tidak diberikan ke online. Mereka selalu bilang ‘stok habis’,” kata Wenas.
Namun sekarang, masalah stok sudah tak lagi soal. Apalagi, MDS memutuskan untuk memiliki e-commerce-nya sendiri yang teknologi dan distribusinya dikelola oleh MatahariMall.com.
Saat pelanggan masuk ke mataharistore.com, pelanggan sebenarnya masuk ke situs mds.mataharimall.com, situs yang sama ketika pelanggan mengkliknya dari situs MatahariMall.com.
Menyikapi ada dua nama Matahari di jagad perdagangan online, Wenas menganggap hal itu tak membuat konsumen bingung.
“MatahariMall itu ibarat mal milik Lippo di mana di dalamnya terdapat banyak ritel, termasuk MDS,” kata mantan CEO aCommerce ini.
Dia menambahkan, “Selama ini, kami memberikan MDS kanal khusus dengan identitas hitam, sesuai brand identity-nya. Identitas itu berbeda dengan MatahariMall yang tampil dengan warna yang colorful.”
Justru, dengan MDS mengusung e-commerce sendiri, MatahariMall dapat bermain lebih leluasa dengan bisa menggandeng department store atau ritel lain yang selama ini mungkin menjadi pesaing MDS. “Tidak menutup kemungkinan, arahnya ke sana,” tutur Wenas.
Alasan MDS
Sejak MatahariMall dibentuk dua tahun lalu, MDS telah memiliki 14,9 juta saham atau mengantongi 10% saham e-commerce tersebut.
Keputusan MDS bermain di online cukup masuk akal. Selain mereka dapat menjual lebih banyak produk ke konsumen, mereka dapat melakukan program promosi online yang jauh lebih gencar.
Apalagi, gerai MDS cukup banyak yang memungkinkan mereka memainkan omni channel marketing. Sampai saat ini, MDS mengelola 151 gerai ritel di 70 kota nusantara.
Sekira 28% dari gerai itu berlokasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya, sedangkan 32% berada di luar Jakarta.
Berdasarkan survei internal, pengecer barang fesyen ini mesti membuka sedikitnya 400 gerai agar mampu memenuhi permintaan pasar di nusantara. Tentu, MDS tak sanggup jika harus membangun 400 gerai, di mana satu gerai saja rata-rata menelan biaya investasi sekitar Rp 20 miliar.
Jumlah pusat belanja pun dirasa tak cukup memenuhi kebutuhan ekspansi MDS jika memang harus 400 gerai.
“Karenanya, dengan masuk ke dunia online dan memiliki situs e-commerce, kami dapat menjangkau lebih banyak pelanggan dengan investasi minimal,” ucap Christian Kurnia, Direktur Merchandising dan Marketing MDS dalam keterangan resminya.
Dengan penetrasi internet yang kian tersebar ke derah-daerah Tanah Air, belanja online akan menjadi kebiasaan baru masyarakat Indonesia. Terlebih, banyak pelangan MDS yang mesti pergi ke kota hanya untuk berbelanja kebutuhan fesyen. “Lewat online, mereka bisa membeli dari daerahnya masing-masing,” ucapnya.
Lewat dunia online pula, MDS dapat mengoptimalkan pelanggan setianya. Ritel ini mengaku telah mengantongi 3,5 juta member Matahari Club Card (MCC) yang dianggapnya sebagai loyal customer.
Pada akhirnya, bisnis online ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan MDS. Walau porsi e-commerce masih amat kecil bagi revenue perusahaan, akan tetapi prospek bisnis online digadang-gadang menjadi masa depan industri ritel.
Toh, sampai tahun lalu saja, MDS masih mampu mencatat penjualan yang positif di tengah konsumsi domestik yang menurun. Berdasarkan laporan keuangan sepanjang tahun 2016, MDS berhasil mencetak pendapatan bersih Rp 9,9 triliun, naik 9,9% dari tahun 2015 yang sebesar Rp 9 triliun.
Laba MDS pun meningkat 13,4% menjadi Rp 2,02 triliun ketimbang laba tahun sebelumnya yang senilai Rp 1,78 triliun.
Kendati sudah memiliki e-commerce sendiri, perusahaan akan tetap melakukan ekspansi usaha dengan menambah tujuh hingga delapan gerai baru pada tahun ini. Hal ini dilakukan sembari menunggu pergerakan pesat e-commerce di Tanah Air.
Laporan Google dan Temasek mengungkapkan bahwa pada tahun 2015-2025, industri e-commerce di Indonesia tumbuh 27 kali lipat, dari US$ 1,7 miliar menjadi US$ 4,6 miliar.
Wenas menilai, pertumbuhan e-commerce di Indonesia diakui masih didorong oleh diskon atau harga murah. Hal ini disebabkan karena 40% pengguna e-commerce di negeri ini adalah mereka yang berusia di bawah 25 tahun, yang mana disposable income masih terbatas.
“Karena itu, MatahariMall ingin fokus ke high quality consumer yang usianya di atas 25 tahun,” tutur Wenas.
Editor: Eko Adiwaluyo