Total nilai investasi industri asuransi di Indonesia terus bertumbuh. Pada tahun 2012, total nilai investasinya sebesar Rp 496,79 triliun. Padahal, tiga tahun sebelumnya total nilai investasinya baru mencapai Rp 283,20 triliun. Pada tahun 2013, nilainya telah mencapai Rp 538,45 triliun. Menariknya, sebesar 85% dari angka tersebut sifatnya adalah dana murah jangka panjang.
Yang menjadi masalah, sebesar 70% asuransi jiwa di Indonesia dikuasai oleh perusahaan multinasional. Secara legal, ini merupakan joint venture. Sementara itu, sebesar 50% asuransi umum direasuransikan ke luar negeri. Inilah yang menjadi sebab mengapa pemerintah perlu melakukan restrukturisasi dan revitalisasi industri reasuransi di Indonesia.
Bila berkaca dari Malaysia, negara tersebut menggunakan hingga 90% kapasitas lokalnya untuk reasuransi. Malaysia hanya mengimpor reasuransi dari luar negaranya sebesar 10%. Begitu pula dengan Singapura. Negara ini menggunakan lebih dari 80% kapasitas lokalnya untuk reasuransi. Lantas, apa yang terjadi dengan Indonesia?
Indonesia menggunakan kapasitas reasuransi dari luar sekitar 50% dari total kapasitas produksinya. Jumlah premi reasuransi Indonesia ke luar negeri pada tahun 2013 mencapai Rp 20 triliun. Frans Y. Sahusilawane, Presiden Direktur PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau yang disebut Indonesia Re memproyeksikan dalam lima tahun mendatang premi tersebut dapat mencapai Rp 60 triliun per tahun. “Bahkan, dalam waktu sepuluh tahun ke depan, preminya mencapai Rp 130 triliun,” ungkap Frans dalam Forum ke-37 BUMN Marketeers Club di Jakarta, Rabu, (27/5/2015).
Apa yang menjadi masalah dari semua ini? Frans mengungkapkan ketiadaan perusahaan reasuransi yang besar di dalam negeri menjadi pemicunya. Dari empat perusahaan reasuransi yang ada di Indonesia, nilai ekuitasnya yang terbesar hanya Rp 700 miliar. Sangat jauh bila dibandingkan dengan nilai ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan reasuransi lokal milik Malaysia yang mencapai Rp 4 triliun. Bahkan, perusahaan reasuransi lokal di Singapura memiliki ekuitas Rp 9 triliun.
Dengan merestrukturisasi dan revitalisasi industri asuransi di Indonesia dapat mengatasi defisit transaksi berjalan yang nilainya mencapai puluhan triliun rupiah. Melalui perusahaan reasuransi nasional yang besar juga berpeluang mengembalikan pajak yang selama ini hilang. “Reasuransi melalui perusahaan luar negeri, tidak ada pajak yang masuk ke Indonesia,” kata Frans.
Secara konsolidasi, pada tahun 2015, Indonesia Re memiliki ekuitas sekitar Rp 2,5 triliun. Untuk ke depannya, tengah dikaji apakah Indonesia Re akan diberikan PNM Rp 5 triliun sekaligus atau Rp 1 triliun setiap tahun selama 5 tahun. Sementara itu, pada tahun 2016, Menteri BUMN telah mengajukan PMN Rp 1 triliun.