Mengapa Rekomendasi Indomie Lebih Rendah dari Rasio Pembeliannya?

marketeers article

Kategori consumer packaged foods atau makanan kemasan merupakan bagian dari industri FMCG. Agar barang cepat terserap konsumen, tentunya membutuhkan tidak hanya PAR, melainkan BAR.

Sesuai karakternya, Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) merupakan industri dengan perpindahan barang yang cepat dari pabrik hingga sampai ke tangan konsumen. Tentu, tidak semua barang akan langsung diserap konsumen. Barang-barang dengan tingkat Brand Advocacy Ratio (BAR) serta Purchase Action Ratio (PAR) yang tinggi menjadi produk dengan pertumbuhan penjualan yang positif. Sehingga, produk ini memberikan revenue yang juga tinggi bagi produsen atau pemegang merek.

Banyak faktor yang membuat makanan kemasan memperoleh rasio pembelian yang tinggi, sejalan dengan advokasi konsumen yang besar. Salah satunya adalah jalur distribusi yang kuat, yang menjadikan ketersediaan produk di seluruh kanal penjualan sama rata. Selama ini, banyak skema distribusi yang dilakukan brand atau pemegang merek. Ada yang menjualnya secara putus ke distributor rekanan. Ada pula yang direct alias langsung berhubungan dengan pihak pengecer.

Sebagai merek lawas yang lahir di era 1970, Indomie sudah menjadi merek mi terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Bloomberg pada kuartal ketiga 2016, Indofood mengepit 70,3% pangsa pasar mi instan di Indonesia. Disusul dengan Wings Group dengan merek Mi Sedaap yang memperoleh 17,2% market share.

Meski pangsa pasar Indomie tergerus sedikit demi sedikit, namun market size industri mi melebar tahun ke tahun. Data World Instant Noodles Association (WINA) memberi konfirmasi bahwa konsumsi mi instan masyarakat Indonesia terus meningkat saban tahunnya. Pada tahun 2013, konsumsi mi instan mencapai 14,9 miliar bungkus, atau mengalami peningkatan sebesar 1 miliar bungkus bila dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2009.

Tahun 2014, konsumsi mi instan mencapai 13,4 miliar bungkus, meskipun pada tahun berikutnya angkanya menurun menjadi 13,2 miliar. Pada tahun 2017, Asosiasi Roti, Biskuit, dan Mie (Asrobim) memperkirakan permintaan konsumsi mi instan mencapai 16 miliar bungkus. Jika kalkulasi itu tepat, itu sama artinya rata-rata orang Indonesia mengonsumsi 64 bungkus mi setahun.

Selama ini, produk konsumer milik Indofood didistribusikan oleh PT Indomarco Adi Prima, perusahaan distribusi yang masih satu payung dengan grup konglomerasi yang didirikan Lim Soe Liong itu. Biasanya, perusahaan besar semacam Indofood meng-handle 60% produksinya untuk didistribusikan langsung. Sisanya diserahkan ke beberapa distributor rekanan yang dibagi berdasarkan teritori atau area penjualan.

Dengan memiliki armada distribusinya sendiri, Indomie bisa melakukan tailored promotion secara lebih bebas ke para key account mulai dari pedagang grosir, agen hingga peritel modern yang menjual produknya. Selain itu, harga pun bisa dikontrol oleh Indomie.

Jika sewaktu-waktu pesaing melakukan penurunan harga, Indomie bisa mengambil langkah cepat dengan memberikan diskon kepada agen-agennya, sehingga harga yang dibebankan konsumen bisa ditekan.

Hal itu yang menjadi alasan merek Indomie memiliki perputaran produk yang cepat, karena produknya ada di mana-mana. Belum lagi, Indomie tak bosan untuk me-recall konsumen melalui serangkaian iklan yang masif. Asal tahu saja, belanja iklan Indomie selalu berada di lima besar.

Catatan Nielsen menyebut pada tahun 2017 belanja iklan Indomie mencapai Rp 981,5 miliar atau naik 25% dari tahun sebelumnya. Menempatkan merek ini sebagai top 3 spender di Indonesia. Selain itu, Indomie kerap meluncurkan varian rasa baru, seperti Indomie Rasa Rendang dan Indomie Goreng Cabe Hijau.

Kendati demikian, advokasi alias BAR dari Indomie jauh lebih rendah ketimbang rasio pembeliannya (PAR). Merek ini hanya memperoleh indeks BAR 0,40 dari skala 1. Apa artinya? Meskipun konsumen Indonesia suka Indomie, namun ada satu alasan yang membuat orang enggan untuk merekomendasikan makanan cepat saji itu ke orang lain, terutama orang terdekatnya.

Adanya isu bahaya kesehatan mengonsumsi mi instan membuat konsumen terkadang enggan untuk merekomendasikan merek ini ke orang lain. Isu ini sebenarnya telah menerpa Indomie dan pemain mi instan lain sejak lama. Akses informasi yang semakin mudah, membuat konsumen gampang untuk menilik kandungan dan bahaya mi instan bagi kesehatan. Isu tersebut terus mengemuka di kalangan netizen yang didominasi oleh kaum muda.

Tanpa bermaksud untuk menghadang isu tersebut, Indomie yakin bahwa masa depan mereknya berada di kalangan millennial. Jika merek ini bisa direkomendasikan oleh anak muda, biasanya kalangan lain -baik women (kaum ibu) maupun senior citizen (bapak-bapak)- akan mengikut saja. Ketika promotion, product, dan price sudah dilakukan dengan segala macam strategi, giliran kanal place yang ingin dioptimalkan Indomie dalam menjangkau kaum milenial.

Caranya? Indofood membeli saham warung mi bernama Warunk Upnormal yang kini menjadi tempat nongkrong favorit generasi muda urban. Dari 35 gerai Warunk Upnormal saat ini, semuanya menjual mi instan dengan merek Indomie. Sebuah investasi murah yang mampu meningkatkan advokasi merek Indomie di benak konsumen muda.

Related