Mengelola Komunitas sebagai Senjata Marketing

marketeers article
Gelaran CMC X Klinik Estetika dr Affandi Campus Marketeers Club saat menyambangi Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. (Foto: Marketeers/Nugraha Satia)

Anda mungkin sudah familier dengan falsafah Jawa ‘mangan ora mangan sing penting kumpul’. Bisa dibilang, falsafah ini erat menggambarkan karakter masyarakat kita senang berkomunitas, berkumpul, atau memenuhi kebutuhan sosialnya.

Tak heran, community marketing atau strategi pemasaran berbasis komunitas berkembang dengan sangat baik dan banyak diadopsi oleh para merek di Indonesia. 

Meski begitu, apakah strategi yang lama masih bisa diterapkan di era digital seperti hari ini? Bahasan mengenai community marketing di era digital ini diangkat dalam acara Campus Marketeers Club saat menyambangi Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. 

Banyak contoh dari para merek yang sukses dengan strategi community marketing. Misalnya saja Pocari Sweat yang berhasil engage dengan komunitas pecinta lari. 

“Pocari Sweat berhasil membangun komunitisasi di kelompok konsumennya setelah berhasil melakukan segmentasi berdasarkan ketertarikan, yakni para pecinta olahraga lari. Mereka ini masuk ke dalam kelompok komunitas jenis Pools atau mereka yang berkumpul karena adanya persamaan nilai atau tujuan,” ujar Anindya Relasi Prasasti, Community Activator Marketeers di hadapan 800 lebih mahasiswa dari kampus-kampus di wilayah Cirebon.

Anindya Relasi Prasasti, Community Activator Marketeers (Foto: Marketeers/Nugraha Satia)

Selain Pools, Anin juga menyebut dua jenis komunitas lain yang terbentuk dari latar belakang yang berbeda, yakni Hubs yang terbentuk karena ada “magnet” yang mengikat antaranggota kelompok dan Webs yang terbentuk atas hubungan personal yang terjalin. 

Komunitas Hubs ini biasanya terjadi di antara para fans KPop, seperti BTS Army atau komunitas penggemar boy band BTS dan NCTzen yang mengikrarkan diri sebagai fans fanatik boy band NCT.

Sementara Webs bisa dicontohkan dengan kelompok ibu-ibu Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau paguyuban kedaerahan yang bermukim di luar kota.  

BACA JUGA: Mengelola Komunitas Menjadi Strategi Marketing yang Ampuh

Anin menambahkan, beda jenis komunitas, beda pula pendekatan yang bisa dilakukan oleh merek untuk masuk ke dalamnya. Untuk kelompok komunitas Pools, Anda sebagai pemilik strategi komunitisasi bisa memulainya dengan memahami nilai-nilai dan tujuan dari terbentuknya komunitas yang Anda sasar.

Tidak lupa, pastikan nilai tersebut relevan dengan brand value yang ingin dibangun di merek Anda sebelum menggelar aktivasi bersama mereka. 

“Untuk kelompok Hubs, Anda wajib mengenali entitas yang mereka idolakan dan pastikan value yang dibawa mereka sejalan dengan brand Anda. Selanjutnya, Anda bisa ciptakan aktivitas komunal bertema idola mereka, misal noraebang bersama komunitas pecinta KPop,” ujar Anin. 

Dalam skala yang lebih besar lagi, aktivasi yang bisa dilakukan di kelompok fans ini tentunya adalah mendatangkan entitas yang menjadi magnet dari komunitas. Misal, Anda menghadirkan BTS untuk engage dengan BTS Army di Indonesia sembari menjalankan kampanye pemasaran brand Anda. 

Aktivasi berbeda bisa dilakukan di kelompok komunitas berjenis Webs. Langkah awal, Anda bisa mengidentifikasi anggota komunitas yang paling dekat dengan brand Anda lalu berikan layanan atau pengalaman ekstra terhadap komunitas tersebut. 

“Fasilitasi juga mereka agar dapat menyebarkan pengalaman positif kepada anggota komunitas dari komunitas lain yang mereka ikuti. Pendekatan jenis ini juga sudah jamak dilakukan oleh merek. Seperti yang dilakukan oleh Bright Gas, merek gas elpiji milik Pertamina yang kerap mendekati komunitas ibu-ibu PKK, atau kelompok arisan melalui program Bright Gas Cooking Competition,” lanjut Anin. 

BACA JUGA: Lewat CMC, Estetika dan Antam Ajak Mahasiswa UI Produktif lewat Medsos

Zulfikar Tito Enggartiarso, Marketing Manager Estetika dr, Affandi (Foto: Marketeers/Nugraha Satia)

Hal serupa pun dilakukan oleh Klinik Estetika dr. Affandi, klinik kecantikan yang menjadikan Gen Z dan Gen Y sebagai target pasarnya. Bagi Klinik Estetika, community marketing menjadi fondasi mereka dalam mengelola konsumen, khususnya dalam hal mengelola kepercayaan pelanggan, memperkuat brand value, tempat untuk menggali kebutuhan dan berinteraksi dengan konsumen, hingga mengkonversikannya ke penjualan. 

“Pelanggan tidak hanya ingin menggunakan produk tetapi juga ingin didengarkan. Bila kita interaktif dan aktif mengulas feedback pelanggan, kesetiaan mereka akan meningkat. Komunitas juga bisa dijadikan platform untuk memastikan brand value yang kita bawa benar-benar tersampaikan,” ujar Zulfikar Tito Enggartiarso, Marketing Manager Estetika dr, Affandi.

Tito melanjutkan, berbagai komunitas telah didekati oleh Klinik Estetika, mulai dari komunitas yoga dan senam, kelompok arisan, komunitas mahasiswa, dan kelompok komunitas lainnya. Kelompok-kelompok ini menjadi destinasi berbagai aktivasi dari Klinik Estetika dan brand skincare Eksotika. 

Community Marketing di era Digital

Davi Frisya, Digital Strategic Manager Burson (Foto: Marketeers/Nugraha Satia)

Lantas, apakah dekat dengan komunitas saja cukup? Di era digital, strategi komunitisasi ini bisa lebih dikembangkan. Hal ini diungkapkan oleh Davi Frisya, Digital Strategic Manager Burson. Davi menyebut, strategi komunitisasi bisa diamplifikasi dengan kehadiran influencer dan key opinion leader (KOL). 

“Dalam melakukan pemilihan KOL juga tidak asal. Ada empat hal yang bisa diperhatikan, yakni relevansinya dengan konten yang kita punya, Authority atau keahlian yang dibawa oleh KOL tersebut, lalu berapa Reach-nya, dan Accessibility bisa digapai oleh audiens,” ujar Davi.

Lalu, bagaimana dengan pemilihan influencer? Davi menyebut, bigger influencer belum tentu memberikan dampak yang lebih besar juga. Jika melihat dari jumlah pengikutnya, jenis influencer bisa dibagi menjadi empat. 

Pertama, nano influencer dengan pengikut kurang dari 10 ribu yang umumnya sangat engage dengan audiens mereka dan brand bisa bermain jumlah konten yang banyak bersama nano influencer. Kedua, micro influencer dengan jumlah pengikut 10 ribu sampai 100 ribu. Influencer ini dinilai memiliki kedekatan yang baik dengan followers-nya dan bisa dijadikan sarana bagi brand untuk membangun kepercayaan. 

Ketiga, macro influencer dengan jumlah follower 100 ribu hingga 1 juta. Influencer tipe ini biasanya memiliki popularitas yang baik di area tertentu. Dengan topik yang tepat, brand dapat menjalin kedekatan dengan segmen yang presisi.

Keempat, mega influencer dengan lebih dari 1 juta follower bisa digunakan untuk mencuri perhatian dengan demografi audiens yang lebih luas hingga membantu membangun brand awareness. Di atasnya mega influencer, sosok ini bisa dikategorikan sebagai selebritas. 

“Kunci untuk mengkombinasikan komunitas, KOL, dan Influencer terletak pada objektif apa yang ingin brand capai. Beberapa objektif yang dapat digali, meliputi awareness dan reach, consumer decision, conversion dan engagement, loyalitas jangka panjang dan advokasi, hingga crisis management dan membangun reputasi merek,” jelas Davi. 

Davy menambahkan, berbeda objektif yang ingin dicapai, berbeda pula strategi eksekusinya, target audiens, isi konten, dan variabel penilaian kesuksesannya. “Kunci kesuksesan dari strategi ini adalah ketekunan kita dalam melakukan pengukuran. Tentukan tolok ukur yang ingin dicapai dan lakukan pengukuran sesering mungkin,” tutup Davi. 

Related

award
SPSAwArDS