Mereka mengatakan, “Don’t judge a book by its cover”. Tapi, untuk kasus ini, mereka salah. Sebuah cover buku menampilkan seorang wanita muda dengan lipstik fuchsia, kacamata besar, dan jilbab warna-warni. Di belakangnya adalah seorang pemuda, dengan jenggot setengah lebat, headphone di telinga, dan salah satu tangan menyelinap di saku. Ya, mereka disebut Generasi M yang ceritanya dikupas tuntas dalam buku berjudul Generation M: Young Muslim Changing The World.
Buku ini ditulis oleh Shelina Janmohamed, seorang penulis buku best seller asal London berjudul Love in a Headscarf. Buku setebal 256 halaman ini menjelaskan potret generasi muda dari agama dengan perkembangan tercepat di dunia, yaitu Islam.
Menurut Shelina yang juga Vice President Ogilvy Noor, agensi branding dan periklanan Islam, Generasi M adalah mereka yang bangga dengan kepercayaan mereka, bersifat antusias, dinamis, aktif, kreatif, namun demanding. Keberadaan mereka ini akan mengubah budaya dengan cara yang “lembut”.
Untuk menunjukkan semua itu, gambar cover sangat penting. Sebab, ketika dunia membicarakan Muslim, kadang gambar yang ditunjukkan cukup menyedihkan. Apalagi itu menyangkut perempuan muslim. Banyak sekali kisah-kisah memoar penderitaan perempuan diekspos oleh media saat ini.
Tapi, menurut Shelina, anak muda Muslim mulai bersuara bahwa kisah-kisah itu bukan lah hal yang mereka sukai. “Mereka ingin melakukan hal-hal biasa seperti orang lain, dan mereka memiliki hal-hal yang menarik untuk dikatakan, terutama ketika membicarakan Muslim,” kata Shelina saat diskusi bukunya di Kantor Ogilvy & Mather, Jakarta, Selasa (25/10/2016).
Generasi M didefinisikan sebagai Generasi Muslim, generasi yang lahir dalam kurun 30 tahun terakhir. Mereka tetap mengamalkan ajaran agama, namun tidak antimodernitas. Mereka percaya bahwa agama dan modernitas tidak mesti bertentangan. Berbeda dengan rekan-rekan Kristiani mereka di Eropa Barat dan Amerika Serikat yang kebanyakan telah berpaling dari agama dan memilih untuk sekuler.
“Karakteristik Generasi M adalah beriman dan hidup modern adalah dua hal yang berjalan beriringan, dan sama sekali tidak ada kontradiksi di antara keduanya,” kata Shelina.
Dalam buku itu, Shelina menulis bahwa iman mereka mempengaruhi segala sesuatu, dan mereka ingin dunia tahu akan hal itu. Ini juga yang membedakan mereka dari rekan-rekan non-Muslim. Dan mereka ingin dunia memenuhi kebutuhan mereka yang sudah melek teknologi, mandiri, dan senang bersama dalam kelompok.
Keberadaan Generasi M malah menjadi peluang bagi pemasar untuk menjadikannya target market. Akan tetapi, mengetahui karakteristik mereka adalah hal mendasar bagi pemasar.
Apalagi, sejumlah data menunjukkan betapa besarnya Generasi M ini di masa depan. Dalam presentasinya, Shelina memaparkan bahwa pada tahun 2010, ada sekitar 1,6 miliar Muslim di dunia. Jumlah ini diprediksi tumbuh 73% dalam empat dekade berikutnya.
Pada tahun 2050, Pew Research Center memproyeksikan akan ada 2,8 miliar Muslim di dunia, alias menguasai lebih dari seperempat populasi dunia. “Sepertiga muslim di dunia berusia di bawah 15 tahun, 2/3-nya berada di bawah 30 tahun,” tuturnya.
Terlebih lagi, 60% populasi muslim dunia bermukim di Asia. Ada 81 negara di dunia memiliki lebih dari satu juta populasi muslim pada tahun 2030. Di sisi lain, masih ada 500 juta orang hidup minoritas pada tahun 2030.
Shelina menjelaskan, lebih dari 90% muslim mengaku kepercayaannya amat mempengaruhi keputusan mereka dalam mengonsumsi barang atau jasa. Tak heran, katanya, pengeluaran muslim dalam mengonsumsi barang gaya hidup mencapai US$ 2,9 miliar dalam setahun.
“Ada tiga lapisan pasar gaya hidup muslim. Pertama, mencakup makanan-minuman. Itu syariah, tidak bisa ditolerir. Kedua, mode dan perawatan tubuh. Ketiga, airline, hotel/resort, dan instrumen keuangan,” ucapnya.
Shelina juga mengungkapkan, Indonesia sebagai negara dengan muslim terbesar di dunia memiliki potensi besar untuk menggerakkan “movement” mengenai sudah saatnya suara young muslim didengar oleh para pelaku usaha.
“Kelas menengah di Indonesia ada 74 juta pada tahun 2002, tahun lalu meningkat dua kali lipat menjadi 142 juta. Angka yang besar,” ucapnya.
Pariwisata Muslim
Sementara itu, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal Kementerian Pariwisata Riyanto Sofyan menjelaskan, industri halal di Indonesia berkembang sejak tahun 50an.
Diawali dengan perkembangan makanan, minuman, serta fasrmasi halal. Dilanjutkan dengan perkembangan finansial syariah pada tahun 70an. Lalu, pada tahun 2000 merambah industri lain, seperti gaya hidup, konsumer, dan pariwisata-perhotelan.
“Muslim kelas menengah di Indonesia ada 112 juta jiwa dengan rata-rata pengeluaran besar,” katanya di lokasi yang sama.
Dia bilang, di bidang pariwisata, Indonesia masih tertinggal di banding Malaysia dalam jumlah wisatawan muslim mancanegara. Dalam setahun, Indonesia berhasil mendatangkan 1,8 juta wisatawan muslim dunia. Sedangkan Malaysia mampu memperoleh 6,7 juta wisatawan.
Editor: Eko Adiwaluyo