Tren belanja daring terus meningkat seiring semakin bergantungnya kehidupan dengan instrumen digital. Microsoft mengungkapkan pasar e-commerce global pada tahun 2020 mencapai US$ 2,3 triliun. Di Indonesia, sektor ini menjadi salah satu industri penopang ekonomi digital yang tengah didorong pemerintah untuk melakukan pemulihan ekonomi.
Total nilai ekonomi digital di Indonesia diperkirakan mencapai US$40 miliar pada tahun 2020 dan US$ 21 miliar di antaranya berasal dari transaksi e-commerce.
Catatan Kementerian Koordinator Perekonomian Republik Indonesia pun mengataka bahwa nilai transaksi e-commerce terus naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018, sektor ini naik 152% dan 88% pada tahun 2019. Sementara pada semester pertama tahun 2020, sektor ini mengalami peningkatan transaksi dua kali lipat dibandingkan periode sebelumnya.
Peningkatan pasar e-commerce di Indonesia memang terlihat menguntungkan. Namun, jika salah langkah, pebisnis justru tidak bisa memanfaatkan peluang ini.
Dikatakan oleh Raj Raguneethan, Regional Business Leader, Retail, and Consumer Goods Microsoft Asia, pebisnis ritel harus tetap melihat perilaku konsumen digital untuk mengetahui kondisi pasar dan apa yang dibutuhkan oleh pasar.
Data Ritel Microsoft yang dirilis pada Microsoft Cloud Innovation Summit 2020 mengungkapkan fakta dan tantangan industri ritel di Indonesia sepanjang 2020, di antaranya:
Pertama, 81% pembeli melakukan pencarian daring sebelum melakukan pembelanjaan daring. Kedua, 80% karyawan di seluruh dunia tergolong dalam pekerja lini pertama,
Ketiga, 50% perusahaan manufaktur siap melakukan pengiriman langsung kepada konsumen pada akhir tahun 2020. Keempat, 50% department store akan memfokuskan bisnis mereka pada e-commerce.
“Preferensi selama masa pandemi menunjukkan peningkatan permintaan terhadap pengalaman belanja daring yang bersifat personal serta last mile delivery,” tambah Raj.
Kondisi ini memberikan perspektif bahwa di tengah transformasi digital, pelaku ritel harus tetap gencar melakukan riset pasar. Knowing your customer masih menjadi kunci kesuksesan bisnis ritel di tengah digitalisasi.
Hal inilah yang kemudian mendorong Microsoft untuk mengembangkan konsep Intelligent Retail, sebuah konsep baru penerapan teknologi di industri ritel. Konsep ini berfokus pada preferensi konsumen berdasarkan data.
“Dengan data, intelligent retail memandu pebisnis untuk menavigasi bisnisnya di era disrupsi dan memenuhi ekspektasi keonsumen dengan pengalaman belanja yang lebih personal,” jelas Raj.
Secara konsep, intelligent retail menandai lima area penting yang memerlukan perhatian khusus. Di antaranya efisiensi toko, automasi, dan keamanan; belanja tanpa kontak; toko fisik yang terintegrasi dengan toko daring; pengalaman belanja yang beragam; dan iklan di dalam toko.
Kelima area ini kemudian diintegrasikan dengan cloud dan artificial intelligent sebagai otak dari intelligent retail. Data yang dikumpulkan oleh cloud dan AI akan menjadi bahan bakar baru bagi pebisnis ritel untuk membaca pasarnya.
Kalbe Farma menjadi salah satu perusahaan yang berhasil menjalankan konsep intelligent retail di tengah gempuran disrupsi. Vidjongtius, Presiden Direktur Kalbe Farma mengatakan bahwa perusahaannya memanfaatkan cloud dan AI untuk membaca, memahami, dan menganalisasi customer journey.
“Konsumen memegang peranan penting di industri ritel karena bisnis kami berpusat pada pemenuhan kebutuhan. Kalbe Farma memutuskan menggunakan teknologi yang bertujuan untuk menciptakan lifetime costumer demi keberlanjutan usaha kami,” ujar Vidjongtius.
Hasil analisis ini kemudian dimanfaatkan untuk menciptakan strategi komunikasi dan pemasaran sekaligus memberikan pengalaman belanja yang lebih personal.
Nilai tambah ini pun berhasil meningkatkan penjualan dan advokasi Kalbe Farma sebagai salah satu produsen produk kesehatan yang sedang dicari saat ini.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz