A long and winding road…
Begitulah bagaimana judul lagu The Beatles di atas mendeskripsikan jejak PT Paragon Technology & Innovation (PTI) menelusuri langkah menjadi perusahaan manufaktur kosmetik lokal terbesar di Indonesia saat ini. Dengan memiliki 7.500 karyawan, PTI mampu memproduksi 95 juta produk kosmetik dan personal care setiap tahun.
Jauh sebelum sang ratu kecantikan “Wardah” menginvasi pasar, PTI lebih dulu menelurkan merek perawatan rambut. Bahkan, sebelum perusahaan ini bernama seperti sekarang, PTI awalnya singkatan dari Pusaka Tradisi Ibu, sebuah perusahaan yang didirikan oleh pasungan suami isteri Subakat Hadi dan Nurhayati Subakat pada Februari 1985. Nama Paragon baru diperkenalan perusahaan pada tahun 2011.
Awalnya, PTI merupakan industri rumahan yang memproduksi merek perawatan rambut bernama Ega pada tahun 1987. Berselang tak berapa lama, lahir lah produk perawatan rambut sejenis dengan merek Putri. Kedua merek itu dipasarkan dengan skema business-to-business melalui salon-salon.
Selama kurun waktu 1985 hingga 1990, PTI mengalami perkembangan pesat lantaran produk Putri -yang masih diproduksi hingga saat ini- laris di pasaran. Bahkan, ada yang menyebut bahwa hair tonic Putri pada masa itu menjadi hair tonic dengan penjualan nomor wahid di Indonesia.
Dengan jalur distribusi yang kian tersebar serta pangsa pasar yang mulai melebar, PTI memberanikan diri untuk membangun pabrik pertamanya di kawasan industri Cibodas, Tangerang. Namun, sayang, kobaran api sempat membakar aset PTI. Kebakaran yang terjadi di pabriknya itu meluluhlantahkan bisnis dan membuat kerugian perusahaan.
Sempat terbesit di pikiran Nurhayati untuk menutup perusahaan, namun itu tak jadi ia lakukan. “Bila perusahaan saya tutup, bagaimana nasib mereka,” itulah kata yang sempat terucap oleh Nurhayati Subakat mengenang masa suram itu.
Dengan modal pinjaman sang suami, Nurhayati membangun kembali bisnisnya dari nol. Mesin pabrik kembali berjalan. Roda bisnis berputar kembali. Satu terobosan pun akhirnya ia lakukan, sesuatu yang mungkin tak terpikir oleh kebanyakan pemain industri kecantikan kala itu.
Wardah Lahir
Ibaratnya, jika rambut wanita bagaikan mahkota, wajah perempuan ibarat sosok sang ratu. Akhirnya, pada tahun 1995, PTI untuk pertama kalinya meluncurkan merek kosmetik dengan nama Wardah. Sebuah rangkaian tata rias yang mengusung konsep halal.
Dengan membawa positioning “halal’, Wardah awalnya sengaja dipasarkan untuk segmen perempuan santri. Seperti yang diceritakan oleh Brand Manager Activation Wardah Shabrina Shalsabila, sang pendiri melihat pada saat itu banyak kalangan santri yang tak terjamah sentuhan dekoratif lantaran terbendung oleh keraguan mengenai kehalalan produk yang beredar di pasaran.
“Tercetus membuat kosmetik halal awalnya untuk memenuhi kebutuhan para santri agar tetap tampil cantik dengan polesan wajah,” ujar dia saat menjadi pembicara di Paragon Innovation Summit, di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Sabtu, (13/10/2018).
Akan tetapi, produk tersebut tak langsung terserap oleh target market yang dibidik. Entah karena alasan pricing yang tidak masuk kantong santri, menuntut si pemilik mengubah sedikit segmentasi pasar. Sejak saat itu, produk Wardah yang dipasarkan secara direct selling itu mulai mendekati perempuan non-santri alias dijual dari rumah ke rumah, sekolah ke sekolah.
Perlahan tapi pasti, bisnis MLM Wardah tumbuh signifikan. Ketika krisis melanda negeri ini pada tahun 1998, usaha kosmetik Wardah masih tetap bertahan. Padahal, banyak pemain industri kosmetik yang harus kolaps karena terbebani oleh utang dan bahan baku yang naik hingga empat kali lipat. Ia bahkan membuka pabrik barunya di kawasan jatake, Tangerang.
Bak a blessing in disguise, roket Wardah justru meluncur paska krismon. Kejatuhan presiden Soeharto membuka ruang reformasi lebih besar, khususnya dalam menyalurkan opini dan pendapat, termasuk identitas diri. Simbol-simbol agamis yang sempat “terkekang” untuk bisa muncul di publik, akhirnya mendapatkan “panggungnya”.
Kala itu, perempuan berjilbab pun tak lagi didominasi oleh kalangan santri. Melainkan, pakaian penutup aurat itu sudah mulai dikenakan oleh mahasiswi-mahasiswi kampus, pegawai negeri sipil, hingga masyarakat umum.
Gelombang syar’i itu lah yang melahirkan kesadaran publik untuk mengonsumsi sesuatu yang sesuai ajaran Islam. Standarisasi halal pun berkembang dari sekadar untuk produk makanan-minuman, kini menjamah produk perbankan dan gaya hidup. Kosmetik dalam hal ini dikategorikan sebagai produk gaya hidup.
“Wardah adalah fenomena besar Indonesia tentang social marketing. bagaimana sebuah perusahaan atau merek bisa mengelami pertumbuhan luar biasa karena didukung oleh gejolak sosial yang terjadi saat itu,” ujar Agus Nurudin, Country Director Nielsen Indonesia saat menjadi pembicara di forum yang sama.
Social marketing yang dimaksud Agus adalah kepiawaiaan Wardah memanfaatkan momentum perubahan sosial di masyarakat, di mana identitas perempuan musilim mulai terekspos, menggulung bagai bola salju. Hijab yang tadinya hanya sebattas simbol agama, berkembang menjadi identitas gaya hidup akibat akulturasinya dengan arus modernisasi.
Pada tahun 200an, istilah ‘hijabers‘ mulai santer di telinga banyak orang. Istilah ini merujuk pada perempuan muslimah yang berhibah sesuai syariat, namun tetap fashionable dalam berpakaian. Adapung arus muslim New Wave ini dipelopori oleh sejumlah publik figur seperti desainer Dian Pelangi dan Jenahara, hingga aktris Inneke Koesherawaty dan Ria Miranda.
“Tentu saja, sangat masuk akal jika seorang muslimah akan lebih memilih produk dengan sertifikasi halal ketimbang produk lain,” jelas Agus.
Berdasarkan laporan Nielsen per September 2018, Wardah adalah merek kosmetik dengan pertumbuhan tertinggi, mencapai 25%. Torehan pertumbuhan ini lima kali lebih tinggi dan pertumbuhan ekomomi, bahkan di atas pertumbuhan industri kosmetik itu sendiri yang bergerak di kisaran 7%.
“Pertumbuhan Wardah turut mendongkrak perusahaan induk PTI sebagai perusahaan dengan pertumbuhan tertinggi di era competitive seperti saat ini,” tambah dia lagi.
Kontribusi Terbesar
Wardah memang menjadi kontributor PTI terbesar saat ini, sebesar 75%m jauh menandingi sang kakak tertua, Putri. Wardah pun berhasil mendogkrak retail value share dari perusahaan ke posisi tujuh besar di Indonesia, bersaing dengan merek internasional seperti Unilever, P&G, dan Mandom.
Berdasarkan catatan Euromonitor, CAGR produk kosmetik dan personal care tahun 2011-2015 sebesar 15%, dengan nilai pasar mencapai Rp 58,3 triliun. Unilever Indonesia menjadi pabrikan dengan penguasaan pasar terbesar di Indonesia atau mencapai 34,8% dari total retail value share. Disusul kemudian oleh PT P&G Indonesia sebesar 12%, L’Oréal Indonesia 5,4%, dan PT Mandom Indonesia Tbk 4,3%.
Sementara itu, PT Paragon Technology berhasil bertengger di posisi tujuh besar dengan mengantongi retail value share 1,7%. Tentu saja, jika Wardah mampu menjaga agresivitas pertumbuhannya saat ini, retail value share PTI akan terkerek naik hingga masuk tiga besar nasional. Apalagi, Wardah telah melakukan diversifikasi produk dengan masuk ke kategori skin care dan hair care.
eCommerceiq.asia menulis bahwa Wardah memegang market sharesekitar 30% di pasar make up nasional. Perusahaan ini mengaku tealh memiliki 300 jenis produk kosmetik dan skin care dengan kisaran harga mulai Rp 16.000 hingga Rp 667.000. Pada tahun 2016, pertumbuhan pendapatan tahunan Wardah tumbuh 50%.
Dalam bertempur di medan perang, Wardah juga kini ditemani oleh dua adik barunya. Pertama adalah Make Over, lini kosmetik masstige untuk pasar profesional. Kedua, Emina yang ditujukan untuk menarik market perempuan belia usia belasan tahun.
Artinya, PTI tak mau terperangkap oleh satu merek besar, yaitu Wardah. Ia mulai mencetak “Wardah” baru di kedua mereknya itu dengan karakter dan segementasi yang berbeda. Bahkan,PTI tak melupakan jasa Putri, merek yang membawa estafet keberhasilannya sejak 33 tahun silam.
Di bawah kendali sang anak, Salman Subakar sebagi Chief Marketing Officer perusahaam, Putri kembali bergerilya di salon-salon dan bertekad menjadi mesin lokomotif pendapatan bagi PTI di masa depan. Cepat atau lambat.
Editor: Eko Adiwaluyo