Mengenal Sosok Nury Sybli, Pegiat Literasi Anak Baduy

marketeers article

Masih terekam di benak Nury Sybli kali pertama ia melihat jari-jari kecil anak-anak suku Baduy yang gemetar menggoreskan pena di buku mereka. Sebagian dari mereka bahkan tidak mengetahui cara menggenggam pena. Sepuluh tahun lalu, Nury memberanikan diri datang ke Suku Baduy dan mendirikan kelas baca Baduy. Dengan berbagai pendekatan, Nury mulai memperkenalkan aksara kepada calon penerus bangsa.

Di sela kesibukan sebagai seorang freelance photojournalist, Nury melihat fenomena yang memprihatinkan di pelosok negeri.

“Dari ratusan sekolah di pelosok Indonesia yang saya kunjungi, ribuan atau bahkan ratusan ribu anak yang saya jumpai hampir seluruhnya berada di bawah garis rata-rata kemampuan anak di perkotaan. Kelas 5 dan 6 Sekolah Dasar di daerah masih banyak yang tidak bisa menulis. Bahkan, saya bertemu dengan siswa kelas 6 di kota Bima yang masih mengeja. Belum lagi soal respon, menjawab pertanyaan, hingga bertanya pun masih jauh dari harapan. Anak-anak suku Baduy pun tak jauh berbeda,” ungkap Nury.

Berbekal pencahayaan yang minim, Nury memperkenalkan aksara bagi anak-anak ini. Hanya malam hari waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk mengikuti kelas baca.

Pasalnya, anak-anak ini harus membantu orang tua mereka bekerja dari pagi hingga petang. Tenaga listrik yang belum memadai pun menjadi kendala bagi mereka, namun hal ini tak menggoyahkan semangat belajar mengajar ini.

Memberikan materi pelajaran terhadap anak-anak suku pedalaman bukan hal mudah. Berbagai pendekatan digunakan Nury untuk bisa dekat dengan muridnya ini. Mulai dari mengikuti cara bicara, cara makan, hingga cara berpakaian yang serupa ia lakukan.

“Saya bahkan ikut mandi ke sungai bersama mereka untuk sedapat mungkin menjadi bagian dari mereka. Dengan cara ini, anak-anak suku Baduy merasa aman, nyaman, dan akhirnya bisa dekat dan lebih intim lagi,” terang Nury

Melalui buku cerita, Nury mulai memperkenalkan aksara demi aksara. Dengan cara ini, ia berharap anak-anak Baduy dapat memiliki pengetahuan yang dapat membantu mereka menjaga kearifan lokal di tengah serangan gadget dan pariwisata. Kini, anak-anak Baduy yang pandai bisa memasarkan hasil tenun warga kepada para wisatawan yang berkunjung tanpa harus ragu.

Ketika ditanya kapan akan berhenti, penerima penghargaan 4.0 Under 40 ini mengatakan tidak akan pernah berhenti. “Berbagi ilmu itu tidak akan pernah ada akhirnya karena yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal, maka segerakanlah untuk mengisi akal kita dengan ilmu.  Seperti orang tua bilang, jika memberi benda ada masanya tetapi jika memberi ilmu akan abadi,” tutur Nury.

Editor: Sigit Kurniawan

Related