Era Marketing 5.0 diwarnai dengan berbagai teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mengoptimalisasikan bisnis mereka, termasuk dalam hal branding. Di dalam gelaran WOW Brand Festive Day 2021, CEO MarkPlus, Inc., Iwan Setiawan mengajak para pemasar melihat pemanfaatan teknologi masa depan untuk keperluan branding. Seperti apa?
Marketing 5.0 berbicara mengenai kombinasi antara kekuatan teknologi dan manusia atau dikenal dengan istilah Next Tech (bionics). Teknologi yang maju selalu mencoba untuk meniru manusia, sebagai contoh kehadiran sensor tech yang terisnpirasi dari panca indera manusia atau teknologi robotik yang terinspirasi dari aktivitas manusia dalam bergerak, hingga teknologi mixed reality yang terinspirasi dari perilaku manusia dalam berimajinasi.
Tidak semua teknologi di era Marketing 5.0 dapat digunakan untuk kegiatan branding. Namun, terdapat sejumlah teknologi yang dapat dikombinasikan dengan peran manusia untuk menciptakan branding yang optimal.
Mari berangkat dari proses perjalanan customer dalam mengenal, membeli, hingga merekomendasikan suatu produk (customer journey). Terdapat lima tahapan pada perjalanan ini yang disebut dengan istilah 5A (Aware, Appeal, Ask, Act, Advocate).
Pada tahap konsumen dikenalkan dengan suatu produk (Aware), para pemasar dapat memanfaatkan teknologi Predictive Audience Targeting. Teknologi ini dapat digunakan untuk membantu pemasar memetakan secara jitu dengan memahami perilaku customer dan preferensi mereka. Hal ini penting agar startegi branding yang dibangun tepat sasaran.
Ketika customer mulai tertarik (Appeal) terhadap suatu produk, maka pemasar dapat memanfaatkan teknologi AI Ad Creation dan Media Optimization Modeling.
“Kemudian, muncul programmatic media buying dengan berbagai algoritma yang bisa membuat para buyers (brand) dapat membeli space iklan dengan harga termurah karena mengikuti opsi yang disarankan. Padahal, proses ini sebelumnya harus ditempuh dengan jalur yang panjang, namun dapat menjadi lebih optimal dengan programmatic media buying. Di dalam dunia marketing, kita sering menyebut ini dengan attribution model,” jelas Iwan di Jakarta, Kamis (25/03/2021).
Di tahap berikutnya, customer akan mulai bertanya-tanya mengenai produk tersebut (Ask). Di sini, para pemasar dapat memanfaatkan Contextual Ad. Contoh paling mudah terlihat jika Anda melakukan pencarian suatu produk di internet. Anda mungkin akan melihat iklan-iklan dari produk serupa bermunculan di dalam perjalanan Anda selama berselancar di internet, bahkan setelah proses pencarian itu usai sekalipun.
Yang tak kalah penting, Anda dapat memanfaatkan teknologi Virtual EXperience pada tahap pembelian (Act). Beberapa pelaku bisnis, terutama pemain perhotelan telah melakukan hal ini dengan mengombinasikan servis dari manusia dan robot untuk melayani para tamu. Kuncinya, Anda harus memberikan pengalaman yang omni (integrasi antara online dan offline).
Di sini, Anda juga dapat menggunakan Predictive Online Journey yang saat ini banyak berbentuk dynamic website. Jika customer melakukan “klik” terhadap suatu page, ia bisa pindah ke tampilan page yang mungkin berbeda dengan customer lain. Teknologi ini dapat memprediksi laman seperti apa yang disukai oleh customer, berdasarkan pada browsing history dan melihaat ketertarikan mereka terhadap suatu hal. Jadi, apa yang disuguhkan antar individu dapat berbeda meski laman awal yang diberikan serupa.
Terakhir, pemasar dapat memanfaatkan Predictive Social Listening dan Evaluation Modeling di tahap akhir dari customer journey (Advocate). Pada tahap Advocate, customer merekomendasikan produk dari brand tersebut kepada orang lain.
Dengan menggunakan Predictive Social Listening, pemasar dapat memprediksi kira-kira produk seperti apa yang diinginkan customer ke depan. Hal ini penting untuk dilakukan brand saat ingin mengembangkan produk baru. Teknologi ini dapat merekam dan memotret omongan apa saja yang beredar dan sedang tren, lalu menerjemahkan itu ke dalam kesimpulan produk apa yang kira-kira diinginkan customer.
“Social Listening ini dapat membantu kita menghindari trial and error. Kita juga dapat mencari tahu kira-kira topik apa saja yang dapat membangun percakapan (create conversation). Lalu, ada Evaluation Modeling yang bisa digunakan untuk mengevaluasi iklan,” terang Iwan.