Mengenali Tiga Paradoks Pemasaran di Era Post-Truth

marketeers article
13785697 surrealistic picture of an apple reflecting in the mirror

Dunia tempat hidup kita sekarang ini dipenuhi oleh serangkaian paradoks. Sosiolog Inggris Anthony Giddens pernah mengatakan teknologi – katakanlah internet – mengusung sifat ambigu. Di satu sisi, memberi aneka kemudahan yang belum pernah dinikmati oleh generasi sebelumnya. Segala sesuatu, misalnya, berjalan secara kekinian (real time). Belum lagi hadirnya teknologi cetak tiga dimensi alias 3D Printing yang disinyalir bakal mengubah wajah industri manufaktur ke depan.

Di sisi lain, teknologi ini juga menyuguhkan aneka risiko-risiko baru yang tak jarang membuat manusia zaman sekarang kewalahan dan kelimpungan menghadapinya. Kasus peretasan akun keuangan, misalnya, menjadi satu momok bagi orang saat ini. Belum lagi dengan maraknya berita bohong (hoax) yang sudah mencapai taraf keterlaluan. Orang sekarang kebingungan untuk membedakan mana yang benar sekaligus mana yang bohong atau rekayasa. Kebenaran atau fakta harus diklarifikasi dan diverifikasi. Fenomena ini disebut dengan post-truth.

Dalam bukunya berjudul “Marketing 4.0: Moving from Traditional to Digital” (Wiley: 2017), Philip Kotler dan Hermawan Kartajaya menulis tiga paradoks yang dihadapi pemasar di era konektivitas. Konektivitas, kata mereka, mengubah fondasi pemasaran, yakni pasar itu sendiri.

Paradoks pertama, interaksi online versus interaksi offline

Hadirnya teknologi internet tidak serta merta membuat bisnis yang berkaitan dengan cetak atau fisik hilang dengan sendirinya. Saat bisnis online mulai mengambil porsi dominan di pasar pada tahun-tahun belakangan ini, kita tidak percaya bahwa mereka akan mengambil alih bisnis offline seratus persen.

Hal yang sama juga terjadi di pemasaran. Kotler bilang, new wave marketing yang ditandai dengan online juga tidak bakal seratus persen menggantikan legacy marketing. Yang terjadi sesungguhnya adalah dua-duanya dibutuhkan – baik online dan offline maupun new wave marketing dan legacy marketing. Kotler memakai istilah coexist.

Zappos, misalnya. Toko sepatu online ini justru memanfaatkan teknologi tradisional call center untuk membangun customer engagement dengan pelanggannya. Justru call center inilah yang menjadi daya tarik Zappos dan diferensiasi dari toko sepatu online lainnya. Contoh lain, Bank of America’s Express Financial Center. Di ATM, sembari melakukan transaksi, pelanggan juga bisa melakukan video-chat dengan teller secara personal.

Apa pelajaran marketingnya? Karakter pelanggan baru mendorong pemasar menyadari bahwa masa depan pemasaran itu terletak pada integrasi online dan offline yang menjadi bagian dari perjalanan pelanggan (customer path) yang baru. Teknologi tetap dibutuhkan untuk relasi machine-to-machine. Namun, ini tidak cukup. Machine-to-machine pada akhirnya harus mampu menciptakan relasi human-to-human. Inilah yang menjadi bagian dari pengalaman total pelanggan tersebut.

Paradoks kedua, informed customer versus distracted customer

Di era sekarang, pelanggan itu sangat berpengaruh pada merek. Aktivitas keseharian mereka tidak lepas dari pencarian informasi terkait merek. Biasanya, ada tiga faktor yang memengaruhi keputusan pembelian mereka, yakni iklan, opini sahabat/keluarga, maupun pengetahuan personal dan sikapnya pada merek berdasar pengalaman di masa lalu.

Namun, tidak gampang memutuskan di era banjirnya informasi ini. Penulis artikel ini memberi analogi ucapan filsuf Francis Beacon yang mengatakan knowledge is power. Artinya, siapa menguasai pengetahuan, dia memiliki kekuasaan untuk mengatur dunia. Ini terjadi zaman dulu dan masih berlaku hingga sekarang. Namun, di era banjirnya informasi yang cenderung post-truth tadi, orang justru merasa kewalahan untuk menentukan pilihan. Orang justru bingung mau pilih mana.

Sementara, konektivitas yang merambah aneka layar dan gadget justru menimbulkan distraksi bagi manusia saat ini. Mereka tidak bisa fokus dan mudah  terombang-ambing oleh aneka informasi. Banyak keputusan terjadi karena pengaruh word-of-mouth.

Apa pelajaran marketingnya? Pertama, pemasar harus mampu memenangkan perhatian konsumen. Tantangannya, bagaimana pemasar bisa menciptakan iklan yang menarik dalam hitungan detik pertama. Juga bagaimana salesperson mampu menyakinkan konsumen di detik-detik awal. Hanya yang WOW yang akan menarik perhatian. Kalau hanya biasa-biasa saja, merek bakal kalah. Kedua, pemasar harus mampu menciptakan percakapan di kalangan konsumen. Harus dipastikan  juga di dalam komunitas konsumen ada loyalis merek yang bisa memberi advokasi terhadap merek.

Paradoks ketiga, advokasi negatif versus advokasi positif

Konektivitas memberi angin segar bagi konsumen untuk memberikan dan membagikan opininya tentang sebuah merek. Konektivitas ini memberikan iklim kondusif bagi praktik advokasi konsumen terhadap merek. Ada dua advokasi, yakni advokasi negatif dan advokasi positif.

Advokasi sendiri bukanlah istilah anyar dalam dunia pemasaran. Sejak lama, sudah ada istilah serupa, yakni word-of-mouth. Konsumen yang mendapat pengalaman menarik dari suatu merek, dengan senang hati akan menceritakan dan bahkan merekomendasikan merek tersebut kepada konsumen lain.

Pelajaran pemasarannya tak lain adalah untuk menciptakan advokasi positif, merek itu sendiri harus mampu memberikan pengalaman yang baik kepada konsumennya. Merek harus memiliki diferensiasi/DNA yang kuat yang tak dimiliki oleh pesaing. Selain itu, merek itu sendiri harus berkarakter. Tanpa karakter ini, branding sebagus apa pun yang dilakukan oleh merek hanyalah kosong atau sia-sia belaka.

Bagaimana merek Anda menyikapi tiga paradoks ini?

*Baca juga “Memahami Marketing 4.0 dalam Konteks Ekonomi Digital.”

Informasi:

Bagi Anda yang ingin membeli bukunya, silakan belanja di tautan berikut ini: Marketing 4.0 

Related