Industri pengolahan karet remah (crumb rubber) dalam negeri belum mencatatkan kinerja yang memuaskan. Dibandingkan Malaysia dan Thailand, produktivitas tanaman karet dalam negeri relatif lebih rendah. Ini menjadi salah satu alasan belum agresifnya pergerakn industri ini dipasaran. Lantas, apa upaya yang dilakukan untuk menggenjot pertumbuhan industri ini?
Selama periode tahun 2012-2016, Menteri Perindutrian Airlangga Hartarto mengatakan hanya ada penambahan satu perusahaan saja di industri pengolahan crumb rubber.
Guna mendorong pertumbuhan populasi industri tersebut, Airlangga mengatakan diperlukan investasi dari luar. “Untuk sektor crumb rubber ini sudah ada investor yang berminat untuk mengisi kekosongan tersebut,” ungkap Airlangga di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (17/11/2018).
Menurut Airlangga, dahulu pemerintah menggunakan terminologi kemitraan, namun hasil akhirnya tidak jelas. “Maka itu, semua yang menggunakan sistem kemitraan diangkat. Sekarang semua diperjelas peruntukannya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Menperin mengungkapkan, industri ban karet di dalam negeri ingin terus melakukan ekspansi. Namun, lantaran turunnya harga crumb rubber, maka produksi ban menjadi terbatas. “Sementara untuk industri synthetic rubber tetap berekspansi. Sehingga ada ketidakcocokan dalam hal ini. Saat ini, bahan baku tersedia, sekarang utilisasinya sekitar 60 persen,” tuturnya.
Pemerintah tengah mencari jalan keluar untuk meningkatkan permintaaan komoditas karet. Misalnya dengan menindaklanjuti ide penggunaan karet pada infrastruktur aspal. Anjloknya harga karet terjadi sejak tahun 2011.
“Untuk meningkatkan permintaan karet, pemerintah telah memberikan investasi untuk membuat percobaan dengan mencampurkannya bersama aspal. Kami juga menginstruksikan kepada asosiasi untuk segera difinalisasikan persiapannya. Kemudian yang kedua yaitu mendorong untuk replanting (penanaman kembali) melalui pajak ekspor,” paparnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur Antara, yang turut mendampingi Menperin menyampaikan, litbang penggunaan karet pada aspal tersebut sudah diteliti oleh Kemenperin dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Diharapkan dengan penggunaan karet pada campuran aspal, berdampak positif untuk mengurangi importasi,” ujarnya.
Hal lain yang dibahas pada kunjungan kerja tersebut adalah produktivitas tanaman karet yang relatif rendah jika dibandingkan dengan Malaysia atau Thailand. Produktivitas tanaman karet Indonesia sebesar 900 Kg – 1,2 ton per hektare, sedangkan produktivitas negara tetangga bisa mencapai 1,5-2 ton per hektare.
“Berdasarkan hasil diskusi diperoleh ide untuk menerapkan sistem pungutan ekspor seperti yang dilakukan di industri kelapa sawit. Dana tersebut nantinya bisa digunakan untuk pengembangan industri karet, peremajaan perkebunan, pelatihan serta promosi dan advokasi,” ungkapnya.
Menurut Ngakan, karet alam merupakan salah satu bahan baku yang dibutuhkan oleh berbagai macam industri hilir. Oleh karena itu, untuk menarik investasi di bidang industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian, perkebunan atau kehutanan, pemerintah juga memberikan fasilitas tax holiday. “Upaya ini sejalan dengan program Kemenperin mengenai hilirisasi industri yang bertujuan memperkuat struktur industri dalam negeri,” papar Airlangga.
Editor: Sigit Kurniawan