Media sosial menjadi kanal terbaik untuk membantu meningkatkan profil online setiap orang, produk, atau pun merek. Menceritakan kisah menarik adalah kunci untuk membuat konten tersebar di jaringan sosial dan dengan demikian menciptakan kesadaran. Dove 'Real Beauty Sketch' adalah contoh sempurna.
Dove 'Real Beauty Sketch' merupakan bagian dari kampanye 'Real Beauty' yang digagas Dove sejak tahun 2004. Merek yang berada di bawah naungan Unilever ini memutuskan untuk membuat sebuah eksperimen demi mengetahui bagaimana pandangan perempuan terhadap kecantikannya dan membandingkan dengan sudut pandang orang lain.
Pasalnya, menurut survei Dove bersama Edelman, perempuan bisa menjadi sangat kritis jika diminta untuk menilai kecantikannya. Dari 3.000 perempuan yang berasal dari sepuluh negara, hanya 2% yang merasa dirinya cantik. Maka itu, Dove mencoba mendekonstruksi makna kecantikan yang semestinya tidak dilihat secara fisik, melainkan sebagai sumber kepercayaan diri.
Dari sekian kampanye video yang disebar Dove lewat media YouTube itu, bisa dibilang Real Beauty Sketch adalah kampanye yang cukup berhasil. Dari segi jumlah penonton, video yang dipublikasikan sejak 14 April 2013 lalu lewat akun @doveunitedstates berhasil menembus 66 juta viewers untuk versi 3 menit, dan 5,7 juta viewers untuk versi 7 menit. Pada akun Dove Indonesia, video serupa telah dilihat oleh 4,8 juta viewers sejak ditayangkan pada 20 April 2013.
Video tersebut menunjukkan seorang seniman sketsa forensik menggambar wajah dari beberapa perempuan. Sang seniman itu tidak diperkenankan untuk melihat wajah masing-masing perempuan, melainkan hanya mendengarkan keterangan mereka tentang bagaimana bentuk wajahnya, bibirnya, pipinya, dan sebagainya.
Selanjutnya, seniman itu melukiskan sketsa wajah perempuan yang sama, namun dari keterangan teman atau kerabat si perempuan. Dua sketsa dari masing-masing wajah kemudian ditampilkan berdampingan. Hasilnya, sktesa wajah yang dibuat berdasarkan keterangan orang lain terlihat jauh lebih menarik ketimbang dari deskripsi si pemilik wajah. Slogan pun berbunyi: “Anda lebih cantik daripada yang Anda pikirkan.”
Dengan video yang bergerak viral bak virus, sudah jelas bahwa konsumen (dalam hal ini netizen) menyukai konten dengan cerita yang mengharukan. Akan tetapi, video tersebut bukan tanpa kritik. Ada yang mengatakan, video itu hanya mendefinisikan kecantikan perempuan terlalu sempit dengan berfokus pada perempuan muda, kurus, putih, dan atraktif.
Fernando Machado, Global Brand Development Vice President for Dove Skin kepada Bloomberg.com sempat mengatakan, bahwa dirinyalah yang memilih talent-talent iklannya saat casting. Ia sengaja mencari perempuan yang mampu berbicara eye level dengan penonton.
“Ketika mereka sedang berbicara, kita ingin tahu lebih banyak tentang mereka. Jika orang berpikir mereka cantik? Itulah inti dari iklan ini, bahwa orang yang cantik tidak menyadari bahwa mereka cantik,” katanya.
Kritik ini sebenarnya ukuran lain dari suatu kesuksesan. Mendapati banyaknya orang berbicara mengenai pentingnya kepercayaan diri seorang perempuan agar menjadi lebih bahagia adalah tujuan utama dari kampanye ini. Video ini memang sangat baik untuk menciptakan awareness akan kecantikan yang sebenarnya. Akan tetapi, apakah iklan ini juga diikuti oleh tindakan pembelian konsumen, khususnya perempuan?
Ya, itu mungkin saja terjadi. Meskipun, sampai saat ini, belum ada data yang jelas mengenai seberapa pengaruh video tersebut terhadap penjualan Dove saat itu. Namun, sumber lain mengatakan, kampanye Real Beauty telah berhasil meningkatkan penjualan sabun Dove saat ini menjadi US$ 4 miliar dari US$ 2,5 miliar saat kampanye pertama bergulir.
Kampanye Real Beauty dimulai Dove sejak tahun 2004 dan diproduksi oleh perusahaan periklanan Ogilvy & Mather. Namun, apakah ini benar-benar filosofi dari perusahaan Unilever? Atau hanya taktik marketing semata?
Pasalnya, Axe yang adalah merek grooming milik Unilever, sempat melakukan hal yang paradoksal. Dalam iklan AXE Effect, tampil ribuan perempuan berpakaian mini dan cenderung anoreksia, melewati bukit dan laut hanya ingin mengejar seorang pria. Bagaimana menurut Anda?
Editor: Sigit Kurniawan