Pada artikel sebelumnya yang berjudul “Kampanye Pemasaran Menggunakan 3D Printing Belum Populer di Indonesia,” telah disebutkan bagaimana posisi teknologi 3D Printing dalam mendukung dunia pemasaran di Indonesia.
“Di Indonesia, potensi 3D Printing untuk industri mulai terlihat dari permintaan dari pebisnis di beberapa industri, khususnya di industri makanan dan minuman. Produsen yang kerap mengganti kemasan mereka, seperti botol, mulai melirik 3D printing. 3D printing dilihat karena tingkat akurasinya yang sangat baik,” jelas Sebastian Yaphy, Product Manager Prima Teknologi.
Sebastian melihat, saat ini ada dua kebutuhan perusahaan akan teknologi 3D printing, yakni untuk kebutuhan research and development (R&D) produk dan pendukung aktivitas pemasaran seperti pameran. 3D printing biasa digunakan untuk membuat mock up sebelum sebuah produk diproduksi secara massal. Teknologi ini dianggap lebih akurat menggambarkan desain yang telah dibuat ketimbang membuat mock up secara tradisional, dengan maket misalnya.
“Penggunaannya belum sampai pada produk akhir karena biayanya masih mahal. Selain itu, untuk mengoperasikan teknologi ini juga butuh keahlian engineering dan 3D design. Saat ini, negara tetangga terdekat yang sudah mulai memproduksi 3D printer sendiri adalah Taiwan dan Korea Selatan,” jelas Harry Liong, Founder SugaCube 3D Studio..
Sementara negara yang dianggap paling mature untuk industri ini masih dipegang oleh Amerika. Di sana, 3D printing bisa menjadi solusi mahalnya biaya kirim sebuah barang. Untuk barang-barang tertentu, bisa dikirim ke tempat yang berjauhan hanya dengan mengirimkan desain 3D saja, lalu dicetak di lokasi pembelinya.
Bahkan, di sana sudah ada komunitas 3D printer yang menghubungkan para pebisnis 3D printing untuk saling bekerja sama, sehingga bisa mengurangi biaya kirim.
Editor: Sigit Kurniawan