Mengintip Pergeseran Tren Marketing 4 Tahun Terakhir

marketeers article

Ilmu pemasaran hari ini bergerak sangat cepat. Jika dulu ilmu kedokteran yang memiliki pergerakan update tercepat, nampaknya hari ini ilmu pemasaran yang memegang predikat tersebut. Begitu juga yang terjadi dalam empat tahun belakangan. Trennya terus bergeser. Seperti apa?

“Jika dulu kiblat pemasaran tertuju ke dunia Barat, saat ini saya bisa klaim perkembangan terbarunya datang dari Asia, bahkan Indonesia,” kata Founder & Chairman MarkPlus, Inc., Hermawan Kartajaya saat membuka WOW Brand Festive Day 2019 di Raffles Hotel Jakarta, Kamis (14/3/2019)

Meski begitu, Hermawan sangat menghormati dunia Barat karena memang ilmu pemasaran berawal dari sana ketika P&G melakukan brand management sekitar tahun 81an. Saat ini product centric masih menjadi perhatian pemasar dunia. Jauh berbeda dengan beberapa tahun belakangan, yang sudah human centric atau bahkan paradox.

“Sekitar 3 tahun lalu di acara yang sama, saya memaparkan brand 3.0. Brand menjadi sangat human centric yang telah bergeser dari product, service, dan customer centric. Di sini banyak lahir brand for good yang bukan hanya melahirkan profit tetapi juga planet dan people,” jelas Hermawan.

Tahun berikutnya, Hermawan melihat pendekatan marketing ke Brand 4.0 yakni brand yang bisa managing the paradox. Pada tahun 2017, brand telah diposisikan as human. Brand telah mampu mentransformasikan diri dari sebagai identitas produk, bergeser menjadi customer personality, lalu menjadi human character.

Filosofi ini yang menjadi hal fundamental dalam membangun brand digital. Pasalnya, di era teknologi seperti sekarang ini, hanya manusia yang bisa memastikan teknologi akan berfungsi positif. Dan, ketika pemasaran bergeser dari tradisional ke digital melahirkan tiga paradox, yakni online vs offline, style vs substance, dan machine to machine vs human to human. Paradok ini yang harus di-manage oleh marketeer kala itu.

“Beralih ke tahun 2018, kita semakin masuk ke era game of marketing. Untuk memenangkannya, positioning dan differensiasi harus diperkuat dari waktu ke waktu,” lanjut Hermawan.

Tidak sekadar diperkuat, kedua juga harus didukung dengan servis level yang benar dan proses yang paling produktif. Brand pun harus semakin paham mengenai perubahan yang menyelimuti, persaingan yang Kian bertumbuh, konsumen yang kian bergeser, dan transformasi perusahaan. Branding dan marketing pun harus diintegrasikan dan melahirkan Omni Way.

Lalu, bagaimana dengan tahun ini? Hermawan menggarisbawahi dua esensi, yakni omni brand dan momentum. Kita yang kini hidup di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) seorang marketeer harus mampu mengambil momentum untuk omni brand mereka.

“VUCA ini bisa direspons dengan DAMO yang dibawa oleh Jack Ma. Di tengah VUCA, satu hal yg paling berbahaya adalah ambiguity of company. Anda tidak akan tahu harus ke mana atau bingung,” jelas Hermawan.

Dari kondisi, akibatnya Anda atau marketeer akan terjebak pada hal taktikal saja tanpa berpikir strategis. Misalnya, ketika kompetitor menurunkan harga, maka Anda ikutan. Lalu ketiga esaing Anda meluncurkan produk baru dan Anda juga meluncurkan produk baru untuk merespons pesaing Anda, dan contoh lainnya. Sayangnya, Anda terjebak dan tidak tahu bagaimana harus menjadi leader.

Di sini, Anda membutuhkan DAMO (Discovery, Adventure, Momentum, Outlook). Dan, satu hal yg paling penting di dalamnya adalah momentum. “Dalam hal ini, marketeer bisa mengerahkan Omni Way yang mereka sudah bangun in the right moment. Momentum is everything. Momentum pun bisa Anda lahirkan sendiri atau Anda memanfaatkan momentum yang ada,” tutup Hermawan.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related