Dunia kreatif dan kewirausahaan tengah naik daun di antara generasi muda. Pelaku usaha yang bergerak dibidang kreatif (creativepreneur) pun kian bermunculan. Peluang bisnis semakin terbuka, mengingat kondisi pasar Indonesia yang kian dewasa.
Museum Macan, Haluu World, atau pun MOJA Museum menjadi contoh kecil dari deretan pemain yang menikmati manisnya bisnis kreatif di Indonesia.
Demam creativepreneur tak lepas dari kehadiran media sosial. Pasalnya, para kreator dapat dengan mudah menyuarakan, bahkan memasarkan karya mereka melalui ragam platform media sosial yang ada.
Putri Tanjung, Founder sekaligus CEO CreativePreneur Creator mengatakan, media sosial bak pisau bermata dua. Positifnya, media sosial dapat menghilangkan barrier bagi para creator atau seniman untuk memasarkan karya mereka.
“Saat ini, penting bagi para seniman untuk memiliki jiwa entrepreneurship. Entah dengan memposisikan diri sebagai seniman sekaligus entrepreneur, atau pun berkolaborasi dengan para entrepreneur. Sisanya, tinggal bagaimana mereka dapat memanfaatkan begitu banyak peluang yang ada di media sosial untuk memasarkan karya-karya mereka,” ujar Putri dalam salah satu sesi di gelaran Indonesia Millennial Summit 2020 di Jakarta, Jumat (17/01/2020).
Di sisi lain, Chairwoman of Museum MACAN Fenessa Adikoesoemo melihat, “now, everybody is an artist.” Banyak orang menjadi artable untuk dapat memengaruhi orang-orang di sekitar mereka. Mereka paham bagaimana membangun bisnis kreatif, dan bagaimana cara memasarkannya.
“Pasar seni dan kreatif di Indonesia juga semakin dewasa. Meskipun jika di-benchmark dengan museum-museum di Amerika Serikat, kondisi pasar kita seperti kondisi pasar seni dan kreatif di Amerika Serikat pada 20 tahun lalu. Namun, pertumbuhannya sangat agresif. Masyarakat Indonesia mulai menerima seni sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka,” ujar Fenessa.
Di era modern ini, tidak ada lagi pengotakkan antara menjadi seniman atau pun menjadi entrepreneur. Orang-orang semakin terbuka, dan seniman tak harus terbelenggu dalam cangkang idealisme. Kolaborasi menjadi jalan di era ekonomi kreatif berbasis ekonomi digital ini.
Penghasilan kerap tidak stabil, apa yang membuat milenial tertarik?
Meski menjadi creativepreneur terlihat memiliki banyak manfaat, namun tidak dipungkiri penghasilan dari bisnis ini kerap tak pasti. Yang menarik, banyak generasi muda yang justru tertarik menggeluti profesi ini.
“Pekerjaan ini memang terbilang tidak stabil. Namun, satu hal yang pasti. Jika dulu usia muda menjadi penghalang, kini usia muda menjadi peluang. Di tahun 2020, 70% penduduk Indonesia merupakan generasi produktif, yakni millennial dan Gen-Z. Kesempatan mereka untuk berkarier sangat besar, dan ide-ide kreatif berdatangan dari mereka,” papar Putri.
Pasalnya, generasi muda dimudahkan dengan teknologi yang memaparkan eksposur tinggi secara global soal dunia seni. Apalagi, ada banyak Venture Capital yang kini tertarik menaruh investasi di sektor-sektor kreatif, seperti makanan dan minuman, fesyen, animasi, hingga film. Namun yang perlu diingat, semakin banyak diganderungi maka kompetisi pun semakin ketat. Di sinilah dibutuhkan inovasi.
“Entrepreneurship harus co-exist dengan kreativitas. Jadikan kreativitas sebagai added-value yang dapat membuat bisnis terus berinovasi,” tutup Putri.
Editor: Sigit Kurniawan