Menilik Isu Predatory Pricing yang Melanda E-commerce, Benarkah Terjadi?

marketeers article
predatory pricing pada e-commerce | sumber: 123rf

Banyak startup khususnya e-commerce disebut sering kali bakar uang hingga melegalkan praktik predatory pricing yang membuat penjual offline merasa dimatikan. 

Isu tersebut ditepis oleh Pengamat Ekonomi Digital sekaligus Praktisi Marketing dan Behavioral Science, Ignatius Untung. Jika melihat definisinya, predatory pricing adalah praktik saat perusahaan menjual harga di bawah harga modal dengan tujuan pesaing keluar dari pasar. 

Untung mengungkapkan dua ciri utama dari praktik predatory pricing yang berkaitan dengan jangka waktu dan kuantitas produk.

“Syaratnya untuk bisa melakukan itu (predatory pricing) yaitu kuantitinya massal dan jangka waktunya panjang. Kalau dua itu tidak terpenuhi, kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa ini sebagai predatory pricing,” kata Untung dalam acara Talkshow Forum Wartawan Teknologi di Seribu Rasa Gunawarman, Jakarta, Jumat (15/09/2023).

Untung menjelaskan e-commerce maupun social commerce yang saat ini beroperasi tidak melakukan predatory pricing, melainkan subsidi harga melalui diskon hingga voucher

“Logikanya, pertama, mereka melakukan itu untuk pengguna baru yang tujuannya untuk mereka mempunyai kebiasaan untuk belanja di platform kita. Ketika orang sudah mulai terbiasa, diskonnya dikurangi sampai tidak ada diskon, dan orang akan stay,” ujarnya.

BACA JUGA: Pasar Monopoli: Struktur Pasar yang Dikuasai Satu Penjual Kuat

Strategi untuk mengakuisisi pelanggan baru ini pun tidak hanya dilakukan oleh e-commerce saja, tetapi juga e-wallet, marketplace, atau startup lainnya.

“Subsidi itu dilakukan sebagai cost acquisition. Perusahaan digital berpikirnya berbeda. Gimana caranya uang yang dikeluarkan bisa jadi transaksi dan konsumen? Oleh karena itu, dialokasikan dalam bentuk voucher karena voucher ini baru akan keluar ketika ada transaksi, sehingga ada jaminan uang pemasaran ketika ada transaksi,” ujar Untung. 

Strategi perusahaan digital inilah yang tujuannya untuk mengelola risiko hilangnya uang. Ibaratnya, sebelum ada ekosistem digital, biaya marketing perusahaan besar seperti FMCG, perusahaan rokok, dan lain-lain banyak dialokasikan ke iklan TV, media cetak hingga billboard

Biaya pemasaran yang dikeluarkan pun sama besarnya bahkan hingga ratusan miliar per tahun. Untung menyebut hal tersebut konsepnya juga sama dengan bakar uang.

“Sehingga, kita tidak bisa bilang bahwa praktik tersebut adalah predatory pricing. Karena pertama jumlahnya terbatas, kedua ditujukan untuk segmen terbatas, dan ketiga periodenya terbatas,” ucap Untung.

Ungkapan predatory pricing ini muncul karena adanya persaingan yang begitu keras antara para pemain e-commerce di Indonesia yang pada tahun 2018 mencapai 12 pemain. Para pemain ini menjadi saling banting harga dan bersaing dalam hal modal. 

Inilah yang membuat isu harga ini begitu melekat pada e-commerce di Indonesia. 

BACA JUGA: Cost Leadership: Strategi Biaya Rendah untuk Menangkan Kompetisi

Editor: Ranto Rajagukguk

Related