Industri food and beverages (F&B) terus mengalami perkembangan. Setelah maraknya jasa layanan pesan antar, kini layanan cloud kitchen tengah menjadi tren. Teknologi kemudian menjadi salah satu faktor perkembangan industri F&B, didukung dengan perubahan kebiasaan konsumen yang menuntut semuanya untuk lebih cepat dan praktis.
Adalah Abraham Viktor, Robin Tan, dan Andreas Resha yang melihat peluang dari pemanfaatan teknologi di ruang industri F&B. Ketiganya membuat “virtual restaurant”, sebuah konsep restoran yang tidak memiliki bentuk fisik namun dapat tetap melayani pelanggan melalui channel delivery. Mereka pun mendirikan startup bernama Hangry.
“Kami mengambil inspirasi dari model cloud kitchen, yang membuat kami berhasil memanfaatkan fleksibilitas dan efisiensi infrastruktur dapur, dan menghilangkan kepentingan berinvestasi di aset real estate. Kami ingin menyediakan suatu pengalaman virtual dining,” kata Abraham Viktor, CEO of Hangry kepada Marketeers.
Sebenarnya, jika dilihat sekilas, startup ini sama saja seperti layanan food delivery pada umumnya. Menurut Viktor, yang menjadi pembeda adalah mereka menyediakan berbagai merek dalam satu payung perusahaan Hangry. Produk yang mereka tawarkan pun beragam seperti Kopi Dari Pada, Ayam Koplo, Nasi Ayam Bude Sari, Moon Chicken, dan San Gyu.
Dengan menghadirkan menu yang beragam, para pendiri Hangry meyakini hal tersebut dapat menjadi nilai tambah yang dapat ditawarkan kepada konsumen. Keempat menu tersebut juga memiliki tujuan masing-masing. Viktor mengatakan, setiap menu ditujukan untuk kebutuhan berbeda dari konsumen mereka, mulai dari sarapan, ngopi, makan siang, camilan, hingga makan malam.
Konsumen dapat memesan menu-menu Hangry pada aplikasi pemesanan makanan yang ada di GoFood dan GrabFood. Hangry juga baru saja meluncurkan aplikasi pemesanannya sendiri yang terhubung dengan mitra pengantar dengan banyak pilihan model pembayaran.
Bermain di industri F&B dan menghadirkan restoran virtual menjadi tantangan tersendiri bagi ketiga pendiri. Berbeda dengan restoran konvensional yang bisa menghadirkan ambience dan interior desain sebagai nilai tambah, restoran virtual hanya bisa menarik konsumen dari kualitas produk masakan.
“Konsumen dapat mengkonsumsi produk kami tanpa bias dari ambience. Karena itu kami fokus pada kualitas produk,” tambah Viktor.
Hangry kemudian memperkuat strategi marketingnya dalam membangun brand equity dan brand reputation di setiap kategori produk yang dihadirkan. Mereka pun tidak main-main dalam menciptakan menu produk baru dan terus mencoba untuk membuat inovasi menu yang dapat mengalahkan para pesaing di industri yang sama.
“Contohnya, kami baru membangun brand baru untuk kategori ayam goreng, dan strategi kami adalah menciptakan fried chicken yang jauh lebih lezat dari sang pemain utama,” pungkas Viktor.
Dengan menempatkan kualitas produk sebagai core business, Hangry mengklaim terus melihat perkembangan yang pesat. Viktor mengatakan, dalam jangka waktu kurang lebih sepuluh bulan, Hangry telah memiliki 18 gerai di kawasan Jakarta, Tangerang, Depok, dan Bekasi dengan ribuan pesanan per harinya.
“Metrics lainnya yang amat penting bagi kami adalah rating restoran kami di channel delivery, yang sekarang berada di rata-rata 4,7 dari lima bintang di semua channel online delivery kami,” imbuh Viktor.
Berbicara soal pendanaan, Hangry baru saja menerima US$ 3 juta dari program Sequoia Surge, Alpha JWC dan beberapa angel investors lainnya. Startup ini juga memiliki visi untuk ekspansi bisnis mereka di tahun 2022, yang tentu saja membawa konsep yang sama dengan saat ini.
Editor: Ramadhan Triwijanarko