Saat ini, kita hidup dalam dunia ekonomi yang saling terhubung melalui rantai nilai global. Pada saat yang bersamaan, kita berada pada titik pengambilan keputusan kritis untuk mengatasi risiko pasokan sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan ekonomi yang tumbuh pesat tanpa melampaui batas-batas planet. Dalam dunia ekonomi, stabilitas geopolitik menjadi kunci untuk transformasi global.
Dalam konferensi pers Economix bertajuk “Global Economic Challenges” di Universitas Indonesia, Senin (27/11/2023), Koji Hachiyama, Chief Operating Officer of Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) menyampaikan ketegangan ekonomi antara AS dan China telah memengaruhi ekonomi dan mengancam pembangunan berkelanjutan.
Dikemukakan bahwa era globalisasi telah berubah menjadi era keamanan ekonomi. Negara-negara saat ini mencari kontrol untuk memperkuat ketahanan ekonomi dan mengatasi kekhawatiran keamanan dengan meningkatkan nasionalisme sumber daya.
“Kecenderungan ini memberikan gambaran yang lebih luas tentang langkah-langkah proteksionis dan prioritas industri dalam negeri dibandingkan kerja sama global. Namun, upaya kolaboratif perusahaan dan negara untuk memperkuat rantai pasokan meningkatkan ketahanan dan kemampuan pemulihan dari negara-negara,” kata Koji.
BACA JUGA: Ekonomi Pulih, Pasar Smartphone Global Tumbuh 5% pada Oktober 2023
Di tengah bencana alam dan pandemi, perusahaan telah mendiversifikasi dan menghubungkan rantai pasokan, mendorong produksi yang lebih adaptif. Hal ini terlihat dalam pendekatan proaktif Indonesia di ASEAN, APEC, dan G20 untuk memperkuat dan mempercepat rantai pasokan.
Konflik ekonomi antara timur dan barat telah menciptakan skenario unik di negara berkembang dan negara maju di selatan global secara umum dan Asia Pasifik, yang membuat Indonesia berada dalam posisi yang relatif menguntungkan. Setelah perang ekonomi China-AS, ekspor dari China ke AS stagnan sementara dari negara-negara ASEAN ke AS berkembang pesat.
Melihat dinamika ini, meningkatnya ketegangan geopolitik berkontribusi pada upaya kerja sama. Negara-negara ASEAN memainkan peran sentral dalam upaya global untuk mencapai transisi hijau, melawan 10 pemasok gas rumah kaca terbesar yang menyumbang sekitar 45% emisi gas rumah kaca global karena jumlah penduduknya yang signifikan.
“Negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, mengalami bencana alam lebih sering daripada yang lain, yang telah menjadi risiko untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memiliki implikasi langsung pada rantai pasokan,” ujar Koji.
BACA JUGA: Korut Buka Wisata Geopolitik
Dalam konteks ini, transisi energi hijau akan menjadi perjalanan panjang yang membutuhkan kerja sama, pemahaman, dan tekad. Hal ini diikat untuk membawa perubahan besar, sebab itu penting untuk memastikan bahwa semua pemangku kepentingan sadar akan kebutuhan akan energi hijau.
“Negara-negara perlu membawa kebijakan yang sesuai, transfer teknologi, dan pendanaan tambahan untuk menciptakan sistem energi yang dapat diandalkan. Namun, biaya transisi hijau bisa jauh lebih rendah dengan kerjasama internasional dan inovasi,” tutup Koji.
Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz