Menilik Rejuvenasi Outlook Bisnis Kecantikan

marketeers article
Skin Care. Closeup Of Beautiful Young Female Model With Pure Clean Skin And Natural Professional Makeup. Portrait Of Sexy Woman With Skin Tone Cream Mask Stripe On Face. Beauty Face. High Resolution

Industri kecantikan kian menunjukkan geliat positif di pasar Indonesia. Euromonitor memproyeksi, nilai industri kecantikan dan perawatan pribadi di Indonesia yang kini berkisar US$6 miliar bakal mencapai US$8,4 miliar pada 2022. Data internal himpunan L’Oréal Indonesia pun menunjukkan hal serupa. Pertumbuhan pasar kecantikan Indonesia yang selalu berada di atas Produk Domestik Bruto diproyeksi tumbuh di atas 7% pada 2019 dengan nilai penjualan lebih dari Rp 40 triliun.

Ada berbagai faktor yang mendorong proyeksi positif ini. President Director L’Oréal Indonesia Umesh Phadke mengamati, selain didukung oleh dominasi populasi muda berusia rata-rata 30 tahun, pasar kecantikan Indonesia turut didukung dengan lanskap ritel yang kian dinamis dan modern. Tak hanya itu, kehadiran sosok-sosok perempuan muslim modern yang inspiratif memikat banyak konsumen perempuan untuk tampil serupa.

Di sisi lain, Indonesia menjadi pasar yang optimistis. Hasil temuan The Conference Board® Global Consumer Confidence™ Survey in collaboration with Nielsen merilis, Indonesia bertengger di antara 10 negara teroptimis di dunia. Di kuartal kedua 2019, Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia relatif stabil (126 poin persentase), menyusul Filipina (130), dan India (138).

Persoalannya, industri kecantikan kini tak lagi bergerak dengan cara lama. 10 tahun yang lalu, kesuksesan bisnis kecantikan ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam memiliki ilmuan terbaik, mempelajari perilaku konsumen, membuat kemasan menarik, dan membangun chemistry dengan target konsumen. Kini, bisnis industri kecantikan bergerak lebih dari itu.

Kehadiran e-commerce dan media baru menjadikan kompetisi pasar kecantikan kian ketat. Perubahan pun terjadi di pasar ini, mulai dari perilaku konsumen, strategi pemasaran, hingga pemanfaatan teknologi. Lantas, apa yang harus diperhatikan para pemain?

Perubahan Perilaku Konsumen

Ada hal menarik dari perilaku konsumen kecantikan saat ini. Mereka jauh lebih berani dalam mencoba berbagai portofolio produk baru. Yang menarik, meski inovasi produk terus berdatangan, namun produk-produk lama tak begitu saja ditinggalkan.

Sebut saja kehadiran make up remover atau micellar water yang tengah menjadi tren. Sejumlah produsen kecantikan seperti L’Oréal sempat berpikir, tren penggunaan make up remover yang terus meningkat akan berpengaruh pada jumlah konsumsi sabun pembersih wajah yang berkurang. Namun, hal ini justru tak terjadi. Produk-produk subtitusi terus tumbuh beriringan. Ketika konsumen menggunakan eyeliner, bukan berarti ia meninggalkan mascara. Demikian pula ketika mereka mengunakan make up remover, tak berarti konsumen tak lagi menggunakan sabun pembersih wajah.

Perubahan lain terlihat pada peningkatan jumlah pengguna produk kecantikan yang mengenakan hijab. Antusiasme para hijaber terhadap dunia kecantikan kian tinggi, selain didukung oleh tren produk halal, melainkan juga kemunculan para influencer berhijab. Mereka membawa warna baru yang menginspirasi perempuan berhijab lain untuk mengikuti tren yang ada.

Yang menarik, bukan hanya produk skincare dan makeup yang diganderungi para hijaber, melainkan produk pewarna rambut. Survei Kantar World Panel mengenai perilaku konsumen kecantikan Indonesia menunjukkan, penetrasi penggunaan produk perawatan rambut di rumah tumbuh 16%.

“Semakin banyak perempuan Indonesia yang mengenakan hijab, dan di waktu yang sama pertumbuhan penggunaan pewarna rambut di rumah turut meningkat. Fakta ini mengejutkan kami sebagai produsen. Kami pun sampai pada kesimpulan, ketika semakin banyak perempuan mengenakan hijab, mereka semakin mencoba untuk berekspresi dengan rambut mereka.” ungkap Umesh.

Adopsi Teknologi Augmented Reality (AR)

Konsep Online to Offline dan Offline to Online (O2O) menjadi kunci pasti untuk memenangkan kompetisi. Pasalnya, konsumen saat ini tak bergerak linear. Lanskap digital telah membuka banyak touchpoints baru. Beberapa konsumen mungkin memilih mencoba produk secara offline dan membelinya secara online, namun beberapa konsumen lain mungkin sebaliknya. Tak terkecuali, dunia kecantikan.

Fenomena menarik yang kian ramai diperbincangkan adalah adopsi teknologi Augmented Reality (AR) di dunia kecantikan. Terobosan baru ini merupakan salah satu strategi yang sejalan dengan konsep O2O. Teknologi ini memungkinkan produk berinteraksi dengan konsumen, menjangkau konsumen, bahkan sebelum konsumen mencoba produk tersebut.

Deretan pemain global di industri ini bahkan rela menggelontorkan dana yang tak sedikit untuk berinvestasi di bidang teknologi. L’Oréal mengakusisi Modiface, sebuah perusahaan artificial-reality beauty untuk memetakan wajah konsumen secara digital dan menerapkan produk secara virtual. Sedangkan, Elizabeth Arden bermitra dengan YouCam Makeup untuk membantu pengguna mencoba produk mereka.

“Inovasi ini memungkinkan konsumen merasakan pengalaman kecantikan dimana pun mereka berada tanpa dibatasi ruang dan waktu,” jelas Jennifer Tidy, ModiFace SVP Partnership. Ketika merek kecantikan bekerjasama dengan e-commerce atau ritel fisik memboyong teknologi ini, maka hal ini dapat menjadi nilai tambah mereka di mata konsumen.

Efektivitas Penggunaan Influencer

Kata ‘influencer’ nampak begitu seksi bagi industri kecantikan saat ini. Peran mereka dalam memasarkan merek sempat diagung-agungkan, namun pertanyaan soal efisiensi penggunaan influencer sebagai alat pemasaran kini mulai dipertanyakan. Efektifkah?

Laporan Meltwater bertajuk Understanding the Shopping Journey of the Southeast Asian Beauty Buyer menunjukkan, tidak ada industri lain yang mengadopsi strategi pemasaran influencer sebesar antusiasme industri kecantikan. Fakta menunjukkan, digital influencer telah menggeser posisi selebriti sebagai pilihan merek untuk memasarkan produk.

Menurut Celebrity Intelligence Report, 80% responden survei mengatakan influencer sangat penting dalam membentuk opini dan keputusan pembelian konsumen. Selain itu, 83% responden meyakini, influencer merupakan kunci untuk membuat tren kecantikan, mengemas produk menjadi sesuatu yang ‘keren’ di mata milenial. Laporan ini menunjukkan, merek memperoleh Return on Investment (ROI) rata-rata sebesar US$11,80 dari setiap US$1,30 yang dikeluarkan untuk influencer.

Bicara soal efektivitas penggunaan micro-influencer dan macro-influencer, Umesh menilai keduanya memiliki peran berbeda. Namun, sama pentingnya.

“Bekerja dengan macro-influencer merupakan strategi yang baik karena mereka memiliki jangkauan yang luas. Namun, menggandeng micro-influencer dapat mengantarkan kita pada komunitas-komunitas yang belum bisa kita jamah,” jelas Umesh.

Menggandeng macro-influencer sekelas Tasya Farasya dapat membantu merek untuk memperkenalkan produk mereka. Namun, micro-influencer dapat membantu merek memperoleh kepercayaan lebih dari target konsumen. Pasalnya, micro-influencer berpotensi memiliki kedekataan yang lebih intim dengan pengikut mereka yang notabane tak sebesar macro-influencer.

Pada akhirnya, para pemain harus mampu mengadopsi perubahan yang terjadi di industri ini. Mulai dari memahami perilaku konsumen kecantikan yang telah jauh berubah dengan tidak mengkotakan definisi kecantikan, mengadopsi penggunaan teknologi lebih jauh, hingga memahami strategi pemasaran yang paling tepat.

Related

award
SPSAwArDS