Oleh Yusuf Arifin, Chief of Storyteller Kumparan
Media pemberitaan berbasis digital atau media online lahir di Indonesia sekitar 1997/1998, bersamaan dengan krisis politik yang saat itu melanda. Setelah revolusi media digital yang mengakibatkan menjamurnya media online, praktis tidak terjadi lagi inovasi yang berarti. Hiatus.
Dua puluh tahun sesudah kemunculan pertamanya, formulasi media online—baik dari cara penyampaian berita, perwajahan, model bisnis, hingga perilaku wartawan—tak mengalami perubahan.
Cara berpikir media sebagai satu-satunya sumber informasi untuk massa misalnya, terasa ketinggalan. Suka atau tidak, media sosial sekarang turut berperan besar melakukan itu. Bahkan jika dulu orang ingin mengapresiasi sebuah karya jurnalistik mesti mengirim surat ke redaksi, di era media sosial, orang dengan instan dapat mengapresiasi bahkan mengomentari berita tersebut.
Perubahan teknologi yang cepat seperti adanya artificial intelligence (AI) juga memungkinkan berita diproduksi lebih cepat dan akurat secara instan menggunakan robot seperti misalnya peringatan gempa bumi, tanda-tanda tsunami, bahkan perolehan medali dalam sebuah gelaran olahraga dunia.
AI juga membantu mendistribusikan berita kepada orang yang tepat di waktu yang tepat. Informasi juga sekarang harus diceritakan dengan cara yang lebih memikat untuk membantu khalayak ikut dalam cerita dengan tetap mengutamakan kredibilitas.
Lanskap dunia digital di Indonesia yang telah terlalu banyak berubah dibanding tahun 1997/1998 memerlukan antisipasi, adaptasi, dan karenanya redefinisi media digital. Salah satunya adalah agar media tetap bertindak seperti laiknya media mainstream, tetapi berpikir seperti media sosial.
Perubahan di dunia digital karena kemajuan teknologi serta dorongan dari perilaku penggunanya (audience behaviour) tersebut kemudian menuntut media untuk menghasilkan konten yang lebih baik dan berkualitas.
Konten tak lagi sekadar data maupun berita, tetapi juga informasi yang dikemas sedemikian rupa menjadi produk elektronik yang diharapkan memberikan nilai tambah kepada si penerima pesan, apalagi ketika konten tersebut masuk ke ranah media sosial.
Jenis konten yang sering ‘dilahap’ warganet saat ini sangat beragam. Salah satu yang sedang tren adalah video berdurasi 15-30 detik yang dilengkapi dengan teks. Tak butuh penjelasan panjang di teks, namun videonya dapat menggambarkan seluruh cerita yang ingin disampaikan.
Ada pula Instagram News yang mencakup judul dan deskripsi di dalamnya. Di kumparan, biasanya cara ini dipakai untuk berita aktual dan butuh dikonsumsi dengan cepat. Biasanya menggunakan foto yang faktual juga.
Ada juga kesukaan para warganet saat ini: Visual One Liner. Berita yang selesai dalam satu kalimat. Biasanya sifat berita seperti ini timeless sehingga memberikan kesempatan bagi pembuat konten untuk menyiapkan lebih matang gambar yang akan disajikan.
Nah, quote atau potongan kalimat yang memiliki nilai berita kuat juga bisa menjadi ide konten yang menarik untuk dilahap warganet. Kemudian tentu ada poster kreatif, infografis, carousel, serta media gallery yang menjadi opsi konten yang bisa disajikan ke khalayak.
Meski memang seringkali penggunaan jenis konten dipengaruhi oleh audience behaviour atau istilahnya “riding the wave”, namun media—termasuk kumparan—akan tetap berpatokan kepada news value sebagai filter utama dalam membuat konten seperti aktualitas, magnitude, kedekatan dengan khalayak, keunikan cerita, seberapa besar kontroversi sedang terjadi, dan human interest.
*Kolom ini merupakan kolom kolaborasi Marketeers x GDP