Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebutkan industri peternakan di Tanah Air memiliki berbagai tantangan dalam mengembangkan bisnisnya. Salah satunya yakni sebanyak 90% merupakan pelaku peternakan mandiri atau perorangan sehingga sulit untuk menyaingi korporasi besar yang menguasai pangsa pasar.
Teten mengaku cukup prihatin dengan kondisi tersebut. Pasalnya, sektor ini menyumbang kontribusi sebesar 16,04% terhadap total produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan II tahun 2021. Jumlah tersebut meningkat 7,07% dibandingkan tahun sebelumnya(year on year/yoy).
Sedangkan dari data Badan Pusat Statistik tahun 2018 mencatat, bahwa dari 27,6 juta pelaku usaha di sektor pangan, 48,9% atau 13,5 juta pelaku usaha begerak di sektor peternakan. Di mana dalam sektor perternakan terdiri dari tiga komoditas utama yaitu 49,3% ayam atau 6,7 juta pelaku usaha, 34,2% sapi potong atau 4,6 juta pelaku usaha, dan 22,5% kambing atau 3 juta pelaku usaha.
“Tapi tantangannya dewasa ini, masih banyak skala usahanya masih kecil-kecil dan perorangan. Sekitar 90% dari pelaku usaha perunggasan di Tanah Air merupakan peternak unggas mandiri atau perorangan, sehingga sulit menghadapi persaingan dengan konglomerasi peternakan,” ujar Teten melalui keterangannya, Senin (7/2/2022).
Menurutnya, untuk meningkatkan industri peternakan nasional pemerintah terus menggenjot agar peternak mandiri segera membangun korporatisasi peternakan. Caranya, dengan membentuk kelompok maupun koperasi.
Setelah itu, nantinya akan dibentuk model bisnis yang terintegrasi atau integrated farm pada sektor peternakan. Teten menilai langkah ini akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Adapun integrated farming system merupakan sistem pertanian dengan upaya memanfaatkan keterkaitan antara tanaman perkebunan, pangan, hortikultura, hewan ternak dan perikanan, untuk mendapatkan agro ekosistem yang mendukung produksi pertanian (stabilitas habitat). Lalu, dapat berdampak pada peningkatan ekonomi dan pelestarian sumber daya alam.
“Ini semacam menciptakan sirkulasi ekonomi. Salah satu contohnya yang ada di Mas Ihsan Farm ini dalam 1 hektare (ha) saja bisa menghasilkan omzet hingga Rp 12 miliar per tahun. Kalau model seperti ini diadopsi, bukan hanya petaninya yang sejahtera, tetapi juga menjaga ketahanan pangan kita,” ujarnya.
Sementara itu, Founder dan Owner Mas Ihsan Farm Sri Darmono Susilo menceritakan, usaha pertanian dan pertanian yang dimilikinya berdiri sejak tahun 1993. Saat ini, hasil pertanian dan peternakan yang menerapkan model integrated farming system ini mampu menghasilkan omzet Rp 8 miliar hingga Rp 11 miliar per bulan.
Darmono mengelola total lahan berukuran 20 ha yang menghasilkan aneka produk. Mulai dari pangan, energi (biogas), pakan ternak, hingga pupuk organik (asam humat).
“Kalau cuma dari dari seekor sapi atau domba, hanya menghasilkan pendapatan tak lebih dari 30% saja. Tapi, jika dengan peternakan terintegrasi dengan sistem closed-loop akan menghasilkan banyak produk yang memiliki nilai ekonomi jauh lebih tinggi,” jelas Alumnus Teknik Industri dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Darmono menambahkan, setiap seekor sapi, 30% hanya menghasilkan energi dan daging. Sedangkan 70% lainnya menghasilkan biogas, pakan, dan pupuk kompos. Sedangkan komoditas yang paling mahal adalah menghasilkan bibit atau sel sapi melalui sperma dan sel telur.
“Namun yang terpenting dalam pengelolaan model pertanian integrated farm ini letaknya pada kemampuan dari sumber daya manusia (SDM) menghubungkan antar elemen yang ada. Sehingga diharapkan memang benar-benar dipelajari secara menyeluruh dan mendalam,” ujarnya.
Editor: Eko Adiwaluyo