Pendekatan kebudayaan menjadi salah satu cara dalam membumikan Jogja Renaisans. Hal inilah yang disampaikan oleh Sultan Hamengku Bawana X dalam peringatan 27 tahun pengangkatannya sebagai raja di Kagungan Dalem Pagelaran Kraton Yogyakarta, Senin (18/5/2015).
Menurut Sultan, hal tersebut sesuai dengan semangat hamemayu hayuninh bawana atau menjaga kelestarian semesta. Selain itu, Sultan mengatakan perlunya menghayati nilai-nilai. Menurutnya, ada tiga tingkatan nilai, yakni nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis.
“Pertama, nilai dasar, bersifat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu dan tempat dengan kandungan kebenaran bagaikan aksioma.
Dari kandungan nilainya, nilai dasar berkenaan dengan eksistensi yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khas, yang menjadi fondasi keIstimewaan Yogyakarta yang bersifat permanen,” kata Sultan.
Nilai instrumental sebagai nilai kedua merupakan nilai kontekstual yang merupakan penjabaran nilai dasar, sebagai arahan untuk kurun waktu dan kondisi tertentu. Menurur Sultan, nilai instrumental ini harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun harus tetap mengacu pada nilai dasar sebagai sumbernya.
“Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif-dinamik dalam bentuk-bentuk baru dalam batas-batas nilai dasar yang dimungkinkan. Dari kandungan isinya, nilai instrumental merupakan sistem, kebijakan, strategi, pengorganisasian, rencana, atau program yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut,” katanya.
Nilai ketiga adalah nilai praksis yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat mengimplementasikan nilai-nilai filosofis itu. Dari kandungan isinya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara nilai-nilai ideal dan aktual. Dan, sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu.
“Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijakan, strategi, rencana, atau program terletak batu ujian terakhir dari nilai-nilai, tetapi pada kualitas aktualisasinya di lapangan,” katanya.
Sultan menegaskan, untuk sebuah filosofi yang terpenting adalah bukti pengamalan atau aktualisasinya yang hidup di masyarakat (living philosophy).
Selain itu, Sultan menegaskan pentingnya dialog kebudayaan, khususnya ketika ingin mendamaikan segala perbedaan.
“Ketika kita jenuh menjalani hidup, jalan yang bijak adalah menyelam ke danau kebudayaan. Di sana airnya jernih, sejernih Sang Kudus, sebiru nirmala Yang Maha Pencipta,” kata Sultan.
Dengan metafora jernihnya “air kebudayaan” itu, Sultan mau mengatakan pendekatan kultural seharusnya menjadi arus utama “menjinakkan” perbedaan cara pandang yang berpotensi konflik untuk menjalin rekonsiliasi. Alasannya, setiap kebijakan yang menggunakan pendekatan kultural pada hakikatnya adalah mediasi kemanusiaan yang bersumber dari hati nurani guna tercapainya kesejahteraan yang berkelanjutan. “Semua itu demi terwujudnya tujuan akhir, yakni Jogja Istimewa,” pungkas Sultan.