Digital marketing memang sudah bukan barang baru di dunia pemasaran. Tapi, masih saja ada sejumlah pemasar yang keliru dan terjebak dalam pemahaman-pemahaman yang salah.
Alhasil, bukan cuma bisnisnya yang jauh dari kata moncer, tapi bisnisnya juga ketinggalan jauh dari kompetitor. Karenanya, Iwan Setiawan, CEO Marketeers dan MarkPlus Inc membahas mitos dalam digital marketing yang masih saja muncul saat ini.
Percaya atau tidak, beberapa pemasar masih ada saja yang mempercayai pemahaman seperti berikut:
Digital Marketing Hanya untuk Perusahaan Teknologi
Ada anggapan bahwa digital marketing hanya relevan bagi perusahaan teknologi atau yang memiliki keberadaan di e-commerce. Namun, hampir semua industri saat ini telah memiliki komponen digital dalam strategi pemasaran mereka.
Iwan menceritakan pengalaman dengan klien di MarkPlus Inc dan berbagai brand yang diliput di Marketeers, terlihat jelas bahwa hampir semua industri kini terlibat dalam digital marketing.
BACA JUGA: Salah Kaprah Pemasar Memahami Bottom Funnel di Digital Marketing
Menurut konsep customer journey versi MarkPlus Inc, terdapat lima tahap dalam proses perjalanan pelanggan yakni aware, appeal, ask, act, dan advocate.
Tahapan ini menggambarkan perjalanan konsumen dari mengenali produk hingga merekomendasikannya kepada orang lain. Proses ini tidak selalu linear seperti corong (funnel), melainkan lebih seperti jam pasir yang menunjukkan bahwa setiap tahap memiliki keterlibatan digital.
Misalnya, dalam industri properti, meskipun pembelian akhir mungkin terjadi secara offline, tahap awal seperti pencarian dan penemuan produk sudah banyak dilakukan secara online. Contoh lainnya adalah industri otomotif di mana merek-merek seperti Wuling dan BMW sudah mulai menjual kendaraan melalui platform e-commerce seperti Tokopedia.
Bahkan industri yang sebelumnya dianggap kurang terpapar digital seperti di segmen business to business (B2B) dan pertanian, kini juga mulai memanfaatkan digital marketing.
Banyak perusahaan B2B yang menginginkan dashboard untuk layanan mandiri, sementara petani kini dapat membeli kebutuhan mereka secara online.
Industri perbankan dan fashion juga telah memanfaatkan teknologi digital untuk mempermudah transaksi dan interaksi dengan konsumen.
“Jadi kalau anda masih menganggap bahwa industri saya tidak butuh digital marketing mungkin anda akan ketinggalan,” kata Iwan dalam Plenary Session Tech For Business 2024 yang digelar di CGV Grand Indonesia, Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Digital Marketing itu Trial and Error
Ada mitos bahwa digital marketing adalah percobaan dan kesalahan (trial and error) hingga menemukan formula yang tepat.
Ini sering menyebabkan pemborosan anggaran karena tidak ada strategi yang jelas. Namun, digital marketing sebenarnya memiliki konsep dan teknik yang dapat dipelajari, seperti memahami tahapan customer journey 5A.
BACA JUGA: Marketeers Tech for Business 2024, Mengatasi Frustrasi seputar Digital Marketing
Digital marketing tidak hanya tentang media sosial. Ada banyak aspek lain seperti display ads, email marketing, social media ads, influencer marketing, webinar, search engine optimization (SEO), search engine marketing (SEM), chat commerce, e-commerce, social commerce, dan affiliate marketing.
Masing-masing memiliki peran dalam setiap tahap customer journey dan dapat dioptimalkan untuk mencapai tujuan pemasaran yang spesifik.
“Jadi kalau kita lihat full spectrum digital marketing itu banyak konsepnya. Semuanya bisa dipelajari, tapi tidak mungkin semua bisa kita cover di saat yang bersamaan,” lanjutnya.
Traffic Adalah Segalanya
Seringkali brand fokus untuk mendapatkan traffic sebanyak mungkin tanpa mempertimbangkan relevansi dari traffic tersebut.
Padahal, yang lebih penting adalah segmentasi yang tepat. STP (Segmentasi, Targeting, Positioning) tetap relevan hingga kini.
Memahami profil konsumen, baik dari segi geografis, demografis, psikografis, maupun perilaku, sangat penting dalam menentukan strategi digital marketing yang efektif.
“Traffic itu bukan number one. Maka fokusnya adalah di segmentasi,” katanya.
Bigger Influencer Bukan Selalu Better Impact
Ada anggapan bahwa semakin besar influencer, semakin besar dampaknya. Namun, ini tergantung pada tujuan kampanye.
Jika tujuannya adalah awareness dengan audiens yang luas, maka menggunakan influencer besar bisa efektif. Namun, untuk tujuan closing atau penjualan, menggunakan influencer yang lebih kecil dengan komunitas yang lebih intim bisa lebih efektif karena hubungan yang lebih dekat dan pengaruh yang lebih personal.
BACA JUGA: Majukan Bisnis, Desain Web Harus Menarik dan Pahami Digital Marketing
“Jadi jangan salah. Misal, ada manajemen minta jualan dengan digital marketing tapi pakainya mega influencer. Ini adalah kesalahpahaman paling klasik dalam influencer marketing,” tuturnya.
Millennial Sama dengan Gen Z di Dunia Digital
Mitos digital marketing lainnya adalah anggapan bahwa millennial dan Gen Z sama karena keduanya adalah generasi muda. Namun, millennial saat ini berusia antara 28 hingga 43 tahun, banyak yang sudah memiliki keluarga dan tanggung jawab besar.
Sementara Gen Z adalah generasi yang lebih muda, lebih eksperimental, dan berani mencoba hal-hal baru.
Perbedaan perilaku digital antara millennial dan Gen Z juga signifikan. Millennial cenderung menampilkan versi terbaik dari diri mereka di media sosial dengan konten yang sudah disaring dan diedit secara profesional.
Sebaliknya, Gen Z lebih menyukai keaslian, dengan konten yang lebih spontan dan kurang dipoles.
“Melakukan satu campaign untuk anak muda yang targetnya Gen Z dan millennial dengan campaign yang sama, most likely akan cuma dapat satu segmen saja. Untuk itu, harus menggunakan multi-segment strategy, karena memang dua segmen ini sangat berbeda,” ujarnya.
Bottom Funnel Paling Penting
Bottom funnel adalah tahap dalam kampanye pemasaran yang berfokus pada aksi langsung dari pelanggan, seperti pembelian atau pendaftaran.
Kampanye ini juga dikenal sebagai performance marketing, di mana hasilnya diukur berdasarkan tindakan spesifik yang dilakukan oleh pelanggan setelah melihat iklan atau kampanye tersebut.
BACA JUGA: Menggali Simfoni Content Marketing dan Advertising dari Red Bull
Untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang, strategi pemasaran harus mencakup elemen dari semua bagian funnel, termasuk brand storytelling yang membantu membangun ikatan emosional dengan pelanggan.
Branding yang efektif fokus pada jangka panjang, menciptakan hubungan emosional dengan pelanggan, dan menceritakan kisah merek yang kuat.
Kombinasi dari kedua strategi ini, performance marketing dan branding, akan memastikan bahwa funnel pemasaran berfungsi secara menyeluruh, dari akuisisi hingga retensi pelanggan.
Content Marketing Sama dengan Advertising
Penting untuk memahami bahwa content marketing bukan hanya tentang promosi produk, tetapi juga tentang menyediakan konten yang bermanfaat dan relevan bagi pelanggan. Konten yang dicari dapat bervariasi, mulai dari yang menghibur hingga yang mendidik.
Content marketing berfokus pada menyajikan konten yang bernilai bagi pelanggan, sementara advertising lebih tentang mengkomunikasikan pesan merek kepada pelanggan. Kedua pendekatan ini dapat digunakan bersamaan.
Digital Marketing = Selling
Mitos digital marketing selanjutnya adalah menganggap bahwa pemasaran digital semata hanya untuk jualan saja. Nyatanya, banyak yang bisa dilakukan dengan digital marketing.
BACA JUGA: Peran AI dalam Universitas di Era Generasi yang Makin Techy
Iwan mencontohkan digital marketing memampukan merek untuk membangun customer relationship yang lebih baik dengan masuk ke ranah digital. Selain itu, melalui kampanye digital, merek bisa membangun branding yang lebih baik.
Online Kills Offline
Pemikiran bahwa pemasaran online akan membunuh pemasaran offline adalah sebuah kesalahan. Di tengah arus digital yang begitu kuat, terdapat kebutuhan untuk detox digital di mana orang mencari cara untuk keluar dari realitas digital dan kembali ke realitas fisik.
Dalam konteks ini, pengalaman fisik dan interaksi sosial menjadi semakin penting.
Mall atau pusat perbelanjaan yang fokus pada transaksi saja mungkin akan kalah dengan marketplace online. Namun, jika mereka dapat bertransformasi menjadi pusat pengalaman yang lebih sosial dan interaktif, mereka akan tetap hidup berdampingan dengan marketplace online.
Misalnya, mall yang menyediakan pengalaman unik, acara-acara live, dan tempat-tempat untuk bersosialisasi akan terus menarik pengunjung.
Konsep third place atau tempat ketiga juga semakin populer. Meski orang-orang mungkin tetap menggunakan laptop atau ponsel mereka di tempat tersebut, keberadaan fisik di tempat itu menciptakan pengalaman yang berbeda dan lebih sosial.
“Live event seperti konser musik dan pertandingan sepak bola di stadion masih selalu ramai, menunjukkan bahwa pengalaman fisik tetap diminati meskipun harga tiket semakin mahal,” pungkas Iwan.
Editor: Eric Iskandarsjah