Apa jadinya jika sekelompok anak muda merujevenasi kawasan Kota Tua menjadi lebih hidup dari sebelumnya? Semasa Cafe mencoba menawarkan wajah baru dari kawasan peninggalan kolonial zaman VOC ini.
“Lokasinya di seberang Stasiun Jakarta Kota,” kata Hutomo Joe, pemilik Semasa menjawab WhatsApp saya, ketika saya dan pengemudi ojek online sempat tersesat mencari lokasi kafe ini.
Tanpa saya sadari, kafe itu sebenarnya sudah menjulang persis di depan mata: sebuah gedung berarsitektur Eropa dengan tembok yang bercat putih bersih. Gedung ini telah direnovasi, sehingga cukup menonjol dari bangunan lain di kanan-kirinya.
Gedung yang diketahui bernama Olveh ini dulunya adalah bekas kantor perusahaan asuransi Belanda, yang menjadi cikal-bakal kelahiran badan usaha asuransi negara Jiwasraya. Sampai sekarang, gedung heritage tersebut masih dimiliki oleh BUMN itu.
Ternyata, Semasa berada di lantai dua dan tiga dari gedung setinggi tiga lantai ini. Lantai dasar menjadi ruang kerja bagi redaksi Sarasvati, sebuah majalah yang fokus mengulasi dunia seni dan budaya Indonesia.
“Kami hanya menyewa gedung ini dari Sarasvati, untuk dijadikan kafe sekaligus workshop,” ugkap Joe, pria peranakan Tionghoa yang bersama rekannya Gunawan membuka bisnis kafe tersebut pada September 2016.
Gedung ini adalah satu dari puluhan gedung di Kawasan Kota Tua yang masuk dalam daftar gedung yang boleh direvitalisasi berdasarkan Konsorsium Kota Tua Jakarta.
Saya menjelajahi lokasi ini seperti orang udik yang baru pertama kali masuk ke gedung tua. Saya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Barang semenit, saya mendongak, mengangumi langit-langit, tembok gedung, serta relief ubinnya yang klasik.
Di sana, banyak sekali terpampang hiasan yang menarik indera visual. Berbagai pernak-pernik aksesori, tas, notes unik, kain rajut, aneka barang keramik, hingga beragam jenis teh dan kopi. Ternyata, Semasa juga berfungsi sebagai instalasi bazar bagi para produk wirausaha karya anak bangsa.
“Setiap weekend, kami sering mengadakan workshop kerajinan, mulai dari kerajinan kulit, keramik, bahkan tempat komunitas melakukan sharing,” terang Joe.
Bukan kopi, tapi teh
Yang membuat kami terkejut adalah Semasa bukan lah kedai kopi seperti yang dipersepsi banyak orang. Ia malah menawarkan antitesis dari kopi, yaitu teh sebagai sajian utama. Nama kafe sengaja ditaruh hanya sebatas strategi untuk menarik pengunjung.
“Sebab, orang khususnya anak muda lebih akrab dengan kopi ketimbang teh,” papar Joe memberi alasan.
Apakah saya kecewa? Ternyata tidak. Alih-alih ingin memesan kopi, saya dibuat penasaran mengenai teh itu sendiri. Di sinilah, Semasa akan mengedukasi konsumennya untuk mengenal lebih dekat dengan teh.
Beruntung, saya duduk bersama Joe yang saya anggap sebagai ekspertis teh, meskipun pengetahuan soal komoditas ini didapat dari pengalamannya menjadi ekspor-impor teh selama sepuluh tahun terakhir. Pihaknya ingin orang mengenang Kota Tua dan daerah Pecinan di sekitarnya melalui teh.
“Orang yang minum kopi sudah pasti suka teh. Orang yang suka teh belum tentu suka kopi,” ucapnya.
Di luar dari manfaat kesehatan yang sering diucapkan oleh para dokter, teh sejatinya memiliki kerkaitan antara budaya dan bisnis. Sembari menyeduh dan mengajak kami menyeruput teh, Joe mengemukakan analisanya mengenai mengapa orang Indonesia peminum teh, namun sedikit yang mengenal teh.
Sejak lama teh menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh bangsa Indonesia, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Teh masuk dalam salah satu holtikultura wajib tanam ketika masa cultuurstelsel atau tanam paksa diberlakukan oleh Jenderal VOC .
Daun teh berkualitas baik dibawa penjajah untuk dijual ke Eropa. Sedangkan, kualitas yang buruk boleh diambil rakyat untuk kemudian dimasak di rumah. Yang terjadi, warna teh begitu pekat dan terasa sangat pahit di lidah.
“Karena di pekarangan rumah masyarakat banyak ditumbuhi bunga melati, mereka menaburkan bunga ke dalam teh agar menghasilkan aroma yang lebih wangi. Itulah mengapa, teh melati begitu terkenal di Indonesia,” ujar Joe.
Teh pun sebenarnya memiliki banyak varian. Teh hijau, teh hitam, teh merah, teh putih, teh oolong, dan sebagainya. Bahkan, ada teh dengan masa simpan sepuluh tahun layaknya wine. Semakin tinggi lokasi perkebunan, rasa teh yang dihasilkan semakin ringan. Semakin renda, semakin getir/pahit.
“Teh hijau sebaiknya jangan diseduh dengan air mendidih, lebih baik saat air bersuhu 70 derajat Celcius. Ibarat sayur, jika terlalu panas, vitamin dan mineral malah hilang,” katanya.
Joe pun memperkenalkan brand teh yang dibuatnya, 1tea house, yang mana daun tehnya diambil dari Taiwan, China, dan juga Jawa Barat. Merek inilah yang digunakan di setiap seduhan teh di Semasa dan juga di berbagai restoran lain, seperti Pantjoran Tea yang berlokasi tak jauh dari tempat kami berada.
Tak terasa tiga jam kami bercakap-cakap sembari meneguk cawan demi cawan teh, layaknya para kaisar China yang tengah berunding menentukan siasat perang. Semburat jingga pun perlahan mulai meredup, menandakan bahwa hari telah menuju senja.
Seorang staf juga mulai merapikan dan membereskan seisi ruangan. Tidak seperti “kafe” kebanyakan, Semasa hanya buka mulai pukul 11 siang hingga enam sore. Bila ada event pada akhir pekan, mereka tutup satu jam lebih lama.
“Ya, namanya juga berada di gedung tua. Hmm, nampaknya seru juga jika ada supranatural tour challenge keliling Kota Tua,” ucapnya dengan nada bercanda.
Well, historical tour with a supernatural twist, why not? 🙂